Artikel Terpopuler

Cerpen

Thursday, January 20, 2011

Makalah Kuliah Jum'at Perdana Dewan Murid Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah Sarang Rembang

Mengenal Tafsir Sunni

KH. DR.Abdul Ghofur MZ,MA
Mengenal Tafsir Sunni
(disampaikan pada Kuliah Jumat MGS, 14 Januari 2011)
Tak dapat dipungkiri posisi sentral Al-Quran bagi seluruh aliran-aliran yang lahir dalam rahim Islam. Semua larut menikmati hidangan Al-Quran. Ada dua sifat yang menjadikan Al-Quran selalu menjadi rujukan. Pertama Al-Quran sebagai hudan, petunjuk bagi umat manusia, dan kedua Al-Quran sebagai furqan, pembeda antara yang benar dan yang batil. Selain itu, Al-Quran adalah satu-satunya teks Islam yang terjaga otentisitasnya. Al-Quran di hadapan kita sekarang tak berbeda sedikitpun dari al-Quran yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka bisa dimengerti, bahwa aliran yang mampu mengidentifikasi diri sebagai aliran yang sejalan-harmonis dengan teks-teks al-Quran dengan mudah memanen kepercayaan dari umat, sementara yang tampak kontras-berlawanan dengannya akan terseret arus peminggiran.
Ironisnya hampir semua (untuk tidak mengatakan seluruhnya) aliran tak mampu menikmati hidangan al-Quran dengan renyah. Dalam banyak kasus mereka justeru tersedak saat berupaya menikmatinya. Hal ini karena Al-Quran tak menghidangkan satu menu dan untuk sekelompok tertentu. Al-Quran adalah mutiara yang bisa dinikmati oleh berbagai lapisan umatnya, masing-masing dengan tingkat intelektualnya. Ditambah lagi satu kenyataan bahwa al-Quran tidak turun sekali tempo dalam bentuk yang utuh, akan tetapi turun dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, dan dalam berbagai munasabah. Dengan demikian, tak pelak al-Quran menghidangkan makna-makna yang beragam, dan bahkan seringkali ambigu yang tak semuanya bisa dinikmati oleh aliran tertentu dengan renyah. Ada diantaranya yang renyah karena menunjuk pada makna yang serasi-setujuan dengan setruktur pemikiran anggitannya, dan ada pula diantaranya yang perlu "diolah" agar "terasa" renyah.
Atas dasar ini, tak ada aliran dalam Islam yang mampu menghindarkan diri dari mekanisme ta'wil dalam arti yang luas, termasuk aliran yang mengaku paling murni sekalipun. Maksud ta'wil dalam arti yang luas adalah seperangkat mekanisme di lingkungan tafsir yang dipergunakan untuk mengatasi teks-teks yang tampak tak sejalan-harmonis. Mekanisme ini bisa berbentuk majâz, ta'wîl, sistematika tarjîh, isyârî, dan lain sebagainya. Tafsîr bil ma`tsur, seperti tafsirnya ibnu Katsîr, yang acap disangka tak membutuhkan mekanisme ta'wil tersebut pada hakikatnya penuh dengannya. Untuk meletakkan hadîts dan atsar pada ayat-ayat tertentu misalnya, dibutuhkan seperangkat metode yang dapat diukur, dan itu tak lain adalah mekanisme ta'wil itu tadi. Juga kesadaran linguistik, alwa'yu allughawî, untuk tidak menerima majâz sebagai bagian dari ta'wil sejatinya adalah bagian dari ta'wil itu sendiri, mirip dengan ungkapan ‘adamul idrâki huwa idrâkun.
Perdebatan-perdebatan akademik antar aliaran-aliran dalam Islam seputar seperangkat ta'wil di muka telah melahirkan khazanah ilmu-ilmu al-Qur`an dan tafsir yang amat kaya. Dan pada kesempata ini, akan kita bicarakan sekelumit dari bagian khazanah tersebut, yakni tradisi tafsir-tafsir sunni. Untuk keperluan ini, kita ajukan dulu satu pertanyaan: Apa itu Sunni? Atau: mencakup siapa saja aliran Sunni itu?
Ini adalah salah satu pertanyaan amat sulit, yang untuk menjawabnya dibutuhkan kerja keras dan melelahkan. Demi menghindari itu, kita menerima begitu adanya sebuah "rumah besar" yang sering diasumsikan menaungi keluarga besar Sunni, tanpa melihat kamar-kamar yang ada di dalamnya, yang boleh jadi tersekat antara satu dengan lainnya, hingga pada posisi diametral. Rumah besar ini lazimnya dihadapkan pada rumah lain yang berseberangan, yang ditinggali oleh Syî'ah, Mu'tazilah, Khawârij, dan lain sebagainya. Dengan demikian, Sunni yang dimaksud di sini adalah kelompok besar yang mencakup salafî, kalâmî asy'arî-mâturidî, dan shûfî-sunnî (untuk membedakannya dari shûfî-falsafî seperti Ibn ‘Arabî). Perselisihan faham teologis diantara shûfî-sunnî dan salafî, yang biasanya berujung pada klaim paling berhak menyandang gelar sunni misalnya, tak perlu diangkat.
Dengan memasukkan unsur tafsir pada pemetaan ini, bisa kita kemukakan, bahwa dalam tradisi Sunni terdapat tiga aliran tafsir: ittijâh salafî, ittijâh kalâmî, dan ittijâh shûfî. Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran yang kedua adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, bil hadîts, bi aqwâlish shahâbah, bi aqwâlittâbi'îin, dan billughah yang mencakup misalnya: makna lafadz yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab; al-Qur'an harus ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan situasi sabab nuzûl dan alur cerita (qishshah); mendahulukan ma'na syar'î ketimbang ma'na ‘urfî; dan lain sebagainya.
Ini berbeda misalnya dari tafsir-tafsir di luar tradisi Sunni yang tak menerima semua konsep-konsep tafsir di muka secara sempurna. Syiah misalnya, tak menerima hadits-hadits yang ditransmisikan melalui sanad Sunni, walau konsep dasarnya mengenai tafsîr bil ma`tsûr sama. Contoh lain adalah Mu'tazilah yang terlalu mudah membuang hadits, apalagi atsar sahabat dan tabi'în, jika tampak bertentangan dengan arra`yu, sehingga mengurangi keutuhan konsep tafsîr bil ma`tsûr. Begitu juga dengan tafsîr falsafî yang berani "melampaui" makna nash ayat dengan konsep dialektika khithâbî-burhânî-nya, atau tafsîr shûfî nadzarî yang merambah ke wilayah bâthin teks dan meninggalkan dzâhir-nya. Ayat 17 QS Al-Hâqqah[1] misalnya, tafsirnya dibiarkan apa adanya sesuai dengan pemahaman "masyarakat awam", akan tetapi bagi para filsuf, ‘arsy diartikan sebagai planet ke sembilan yang merupakan mahaplanet, sementara delapan malaikat yang menyangganya adalah delapan planet yang bermarkas di bawahnya. Dan ayat 6-7 QS Al-Baqarah[2], oleh Ibn ‘Arabî, melalui konsep dzâhir-bâthin-nya ditafsirkan, bahwa orang-orang kafir itu menutupi kecintaan mereka atas Allah, sehingga peringatan-peringatan Nabi Muhammad SAW. tak akan mereka imani, karena telah sibuk hanya dengan Allah SWT.
Di luar kesamaan-kesamaan metode di atas, aliran-aliran Sunni juga memiliki sejumlah perbedaan, terutama menyangkut tafsîr birra'yi. Misalnya pendekatan aliran kalâmî terhadap ayat-ayat shifâtiyah, yang ditolak keras oleh aliran salâfî. Imam Fakhrur Râzî yang dianggap sebagai mufassir yang berhasil menyuguhkan teks-teks al-Quran sebagai hidangan teologis Asy'ariyah menjadi sorotan tajam aliran Salafî. Ibn Taimiyah, pentolan aliran ini, bahkan menyampaikan grundelannya terhadap attafsîr al-kabîr anggitannya: "fîhi kullu syai'in illâ attafsîr", tafsir tersebut memuat segala hal kecuali tafsir itu sendiri. Contoh lain adalah pendekatan isyârî yang dikenalkan oleh aliran shûfî-sunnî, yang bukan saja ditolak oleh aliran salafî, tapi juga oleh sejumlah kalangan dari aliran kalâmî.
Tafsir isyârî adalah tafsir yang menta'wili ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan apa yang dzahir, melalui petunjuk dari isyarat-isyarat esotoris yang hanya diberikan kepada mereka yang telah sempurna dalam meniti jalan menuju Allah SWT. Model penafsiran ini murni mengandalkan ilham dari Allah SWT. tanpa terikat secara ketat dengan logika bahasa, keselarasan konteks, dan dukungan premis-premis ilmiah. Dalam hal ini, seorang mufassir diwajibkan untuk selalu mengisi hatinya hanya dengan dzikir Allah SWT, sehingga saat ia membaca Al-Quran Allah membuka hatinya untuk menerima pencerahan-pencerahan baru yang terkandung di dalam isyarat-isyaratnya. "Wa'allamnâhu milladunnâ ‘ilmâ". QS. Al-Kahfi : 65. Sahl Attustarî (200-283 H.) , seorang sufi kenamaan, saat membaca ayat 22 QS Al-Baqarah[3], seperti mendapat ilham dari ‘âlamul malakût, bahwa andâd terbesar adalah hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan, menyimpang dari tafsir dzharinya yang adalah berhala-berhala sesembahan orang-orang kafir. Dengan menafsiri andâd dengan nafs ammârah, Attustarî tidak bermaksud menafikan makna dzharinya tersebut, akan tetapi itu hanya sebagai "tafsir lain" yang ditimpakan ke dalama hatinya melalui penghampiran total kepada Allah SWT.
Tafsir isyârî atau faidhî yang lahir dalam tradisi tasawwuf sunnî demikian ini sangat problematis. Di satu sisi ia terpancarkan dari hati bening para peniti jalan kesucian, akan tetapi pada sisi lain ia seperti melahirkan logika bahasa baru yang mustahil tersentuh oleh pengalaman normal. Imam An-Nasafî, penganut tradisi tafsîr kalâmî, mengecam model penafsiran tersebut, karena telah menarik lafadz-lafadz al-Quran dari habitat dzahirnya. Menurut dia, menggeser lafadz al-Quran dari konteks dzahirnya adalah bentuk ilhâd.
**
Selain pemetaan salafî-kalâmî-shûfî, tradisi tafsir sunni juga terkelompokkan dalam sejumlah corak atau warna tafsir. Sebut saja misalnya, tafsîr fiqhî, tafsîr lughowî, tafsîr adabî, tafsir ijtimâ'î-hudâ`î, dan tafsîr ‘ilmî. Tafsîr fiqhî adalah salah satu tafsir yang paling mulus dan tak banyak dipersoalkan. Jika ta'wil hanya berarti mencari tahu hukum Allah (ta'wîl fiqhî) pada semua kasus yang terjadi di muka bumi, maka hampir pasti semua aliran sunni tak akan mempermasalahkan legalitasnya. Dalam khazanah sunni, tak ada satu aliran pun yang berani menarik diri dari keterkaitan dengan hukum syar'î, sehingga ta'wîl fiqhî dengan demikian mutlak diperlukan. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini, sejumlah tafsîr fiqhî telah lahir, seperti Ahkâmul Qur`ân karya Ibn al-‘Arabî dan Ahkâmul Qur`ân karya al-Jashshâs.
Tafsîr lughawî lahir dari satu kenyataan bahwa al-Quran diturunkan melalui media bahasa Arab yang jelas. "dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." QS. Asy-Syu'arâ`:193-195. Sehingga untuk memahaminya diperlukan penguasaan yang sangat baik terhadap tatabahas dan kosakata Arab. Ini adalah syarat mutlak bagi mufassir. Di sinilah kemudian lahir buku-buku tafsir yang banyak atau bahkan khusus membahas sintaksis dan morfologi Arab. Sebut misalnya Ma'ânil Qur`ân, karya Imam Al-Farrâ', Ma'ânil Qur`ân karya Az-Zajjâj, Addurrul Mashûn karya Assamîn al-Halabî, dan lain sebagainya.
Tafsîr adabî adalah bentuk pertanggungjawaban ulama-ulama Islam untuk menjelaskan nilai sastra al-Quran yang diyakini mengandung i'jâz. Corak tafsir ini banyak dielaborasi oleh kalangan Mu'tazilah seperti Al-Jahidz (163-255 H.), ar-Rummânî (296-384 H.) dan al-Marzabânî (297-394 H.), yang pada generasi belakangan lahirlah al-Kasysyâf-nya Imam az-Zamakhsyarî (467-538 H.). Belakangan, generasi Sunni juga merambah wilayah ini, seperti Imam al-Bâqilânî (328-402 H.), Abdul Qâhir al-Jurjânî (w. 471 H.), dan kemudian generasi Imam Baidlowî (w. 685 H.) yang mengintisarikan kandungan sastra tafsîr al-Kasysyâf dengan membuang teologi i'tizîli-nya. Dan di era modern, corak adabî ini dielaborasi lebih mendalam oleh Amîn al-Khoulî (1895-1966 M.) dengan asumsinya bahwa al-Quran adalah karya sastra, sebelum merupakan yang lainnya. Kata dia, "Al-Qur`ân huwa kitâbul ‘arabiyah al-akbar", al-Quran adalah karya sastra adi agung. Ia adalah milik umum bangsa Arah, sebelum merupakan petunjuk bagi umat Islam. Dengan ini, al-Quran mutlak harus didekati dengan teori-teori sastra dan linguistik. Sebagai pengampu matakuliah sastra Arab di Cairo University, pengaruhnya sangat besar di Mesir yang saat itu merupakan kiblat akademik di Arab. Bola ilmiah yang ia gulirkan terus menggelinding, lalu ditangkap oleh dua arus: arus klasik, dan arus modern-sekuler. Yang pertama diwakili oleh istrinya, Binti asy-Syâthi' (1912-1998 M.) yang menelurkan terori tafsîr bayânî, dan yang kedua diwakili oleh muridnya, Muhammad Ahmad Khalafullâh (1904-1983 M.) yang menelurkan tinjauan sastra terhadap kisah-kisah al-Qur'an, al-Fann al-Qashashî fil-Qur`ân al-Karîm. Yang keterakhir ini kemudian semakin berkembang hingga menarik al-Quran pada wilayah linguistik modern seperti semiotika, semantika, dan hermeneutika yang oleh banyak pakar Sunni dianggap telah keluar dari "rumah besar Sunni".
Tafsîr ijtimâ'i-hudâ`î yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M.) ini muncul dari keresahan melihat tafsir-tafsir yang berkembang hingga saat itu, di mana pesan-pesan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) seperti tenggelam dalam lautan pembahasan tatabahasa, balaghah, ilmu kalam, dan falsafat yang melingkupi teks-teks al-Quran. Setelah mendalami al-Kasysyâf misalnya, pembaca keluar dari itu dengan membawa ilmu balaghah. Atau menyeami at-Tafsîr al-Kabîr-nya Fakhr Râzî, pembaca akan semakin mengetahui teologi-teologi Asy'ariyah. Begitu juga ketika membaca al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân-nya al-Qurthubî, pembaca akan disuguhi hidangan fiqih. Di semua itu, al-Quran sebagai petunjuk yang menerangi jalan hidup insan Muslim seperti absen, dan hanya sesekali saja muncul dalam gemuruh pembahasan-pembahasan pendamping. Dari keresahan ini, Abduh memperkenalkan model penafsiran yang concern utamanya adalah menggali petunjuk-petunjuk al-Quran untuk membaca umat Islam dari keterbelakangan. Corak tafsir yang dikenalkan oleh Abduh ini kemudian menjadi populer, dan memiliki pengaruh yang luas, terutama setelah dikenalkan oleh muridnya, Rasyîd Ridlâ (1865-1935 M), lalu oleh Syaikhul Azhar, al-Marâghî (1881-1945 M.).
Tafsîr ‘ilmî, atau tafsir saintifik, dibangun diatas keyakinan bahwa agama yang benar dan ilmu pengetahuan adalah dua saudara yang saling membantu menuju yang haqq. Agama yang benar termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat Qur'âniyah, sementara ilmu pengetahuan termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat kawniyah. Keduanya tak mungkin saling bertentangan, karena sama-sama diciptakan oleh Allah SWT. yang Maha Mengetahui. Barangkali orang pertama yang mengenalkan corak tafsir seperti ini adalah Imam al-Ghazâlî (w. 520 H.) dalam bukunya, Jawâhirul Qur`ân. Namun tampaknya lemparan al-Ghazâlî ini kurang mendapatkan tempat di hati para pakar saat itu. Bahkan Imam asy-Syâthibî (w. 790 M.) dalam bukunya, al-Muwâfaqât sangat menentang upaya-upaya tersebut, dengan dalih al-Quran diturunkan kepada masyarakat yang ummî, yang tak mengenal ilmu pengetahuan sejauh itu. Menurut dia, al-Quran harus dipahami seperti saat pertama diturunkan. Di era modern, saat hampir seluruh dunia Islam tunduk dalam kolonialisme Barat, umat Islam terpuruk bukan saja peradabannya, akan tetapi juga mentalnya. Agar mereka bangkit, kepala mereka harus ditegakkan terlebih dahulu. Di antaranya dengan menumbuhkan percaya diri terhadap peradaban yang pernah mereka bangun. Dan itu salah satunya ditemukan dalam kitab suci mereka, yaitu al-Quran. Bahwa kemajuan-kemajuan Barat di bidang teknologi, ilmu alam, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya sejatinya telah disampaikan oleh al-Quran secara gamblang atau dalam bentuk isyarat-isyarat. Di sinilah nama Thanthâwî Jauharî (1870-1940 M.) menjadi sangat terkenal. Ia dengan piawai menunjukkan dalam tafsirnya, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, bahwa sekian banyak teori-teori alam yang ditemukan di era modern sebetulnya telah disampaikan oleh al-Quran.

Tuesday, January 11, 2011

Merpati Di Bulan Maulud

Merpati Di Bulan Maulud
Oleh.Bani Saleh 

Tetes embun pagi laksana mutiara yang sengaja di anugerahkan Tuhan, bola raksasa mulai tampakkan sinarnya tanpa rasa malu, memberikan kehangatan bagi setiap insan yang masih diberikan anugerah Tuhan untuk menghirup udara segar di pagi hari, ah,, andai kekasihku saat ini berada disampingku mungkin  aku akan lebih merasakan kehangatan yang lebih istimewa,  kehangatan yang terselimuti oleh gairah cinta, gairah yang menderu-deru seperti harimau kehausan ditengah padang pasir,
Orang-orang mulai beraktifitas,Ibu masak didapur mempersiapkan sarapan untuk dibawa ke sawah,ayah ya ng sudah terlebih dahulu ke sawah setelah jamaah subuh,tentunya perut sudah mulai terasa lapar,begitulah kehidupan di perkampungan yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani.

            Sementara aku sendiri disibukan oleh keperluanku, bahkan akupun terkesan acuh pada urusan orang tuaku yang telah membesarkanku, membiayai pendidikanku,dari Madrasah ibtidaiyyah,tsanawiyah,aliyah,bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi, ah,, betapa durhakanya Aku, betapa tak tahu balas budinya aku.


*******

Aku terbangun dari mimpiku,dipagi yang cerah ini, aku berada di alam sadar setelah beberapa jam Aku tertidur pulas, meski sejenak Aku telah melupakan kesedihan – kesedihan itu,Aku cukup bersukur karena dengan tertidurlah Aku bisa sedikit melupakan  beban – beban serta kepedihan – kepedihan yang belum sempat terobati. Oh,, apakah ini adalah bentuk penghianatan atau manifestasi dari sifat pengecut,?. Karena sejatinya masalah adalah untuk di hadapi bukan untuk dilupakan atau bahkan ditinggalkan, mudah – mudahan tidur dan istirahatku bukanlah bentuk dari penghianatan ataupun manifestasi dari sifat pengecut, karena Aku adalah manusia yang butuh istirahat untuk melepaskan kepenatan atau hanya sekedar melemaskan otot – otot yang sempat tegang menjalani roda kehidupan yang melelahkan.

Akupun telah berupaya untuk menyejukkan hatiku, menghibur diri, karena Aku yakin selagi Tuhan masih memberi Aku kehidupan  di dunia ini, pastilah Tuhan akan memberikan rahmatnya, karena Tuhan tak pernah tidur dan tak akan mati.

Dalam lamunan dan kesunyian, sebuah bayangan putih muncul dari hati nuraniku keluar melalui pori – pori tubuhku menyatu dengan hembusan angin di pagi hari, seraya menyenandungkan sasmitanya untuk aku,untuk ragaku.

“ Wahai Aku, wahai ragaku, hentikanlah tetesan air mata kepedihan yang mengalir deras itu !.Tidaklah engkau tahu,sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang – oang yang berbudi baik, dan bukankah engkau termasuk hamba Allah yang beriman ?. Maka yakinlah kebahagiaan yang hakiki akan segera datang menghampiri jiwa dan ragamu. sebab kegagalan adalah awal dari keberhasilan, itupun jika engkau sanggup menghalau dan menepis lingkaran hitam yang membelenggu hasrat sucimu, karena Allah membenci mahluknya yang berputus asa.

Ratapan yang engkau keluhkan itu hanyalah nyanyian setan, bukan gema kalam kemuliaan. Maka engkau akan jatuh kedalam kehinaan, jika engkau tetap menyenandungkan ratapan – ratapan pedihmu itu.

Getar dan suara musik ringtone yang menjadi nada panggilan dari Handphoneku, menyadarkan aku dari lamunan.  

Sejurus  kemudian aku ambil Handphoneku, lalu terdengar suara ramah dan renyah ,menyapa gendang telingaku.

“ Assalamu ‘alaikum sayaaang ”. seseorang menyapaku dengan ramah yang tidak lain adalah tunanganku.
“ wa alaikum salam “. ada apa sayang,,? Tanyaku sembari bergurau.
“ de’ cuman mau Tanya, mas jadi berangkat hari ini, ?”
“ iya de’ kenapa..?”
“ oh.. ya sudah. hati – hati dijalan semoga mas baik-baik saja, de’ selalu doakan.”
“ terima kasih sayang, de’ juga jaga diri baik-baik ya..!?”   

Perbincangan singkat, namun dihati terasa melekat, kerinduan yang sedikit telah terobati, setelah beberapa bulan semenjak dirinya manerima ungkapan perasaanku melalui SMS,

Ah..betapa tersiksanya berhubungan jarak jauh, namun tak masalah bagiku, karena hakikatnya cinta juga butuh kepercayaan, setidaknya aku telah menemukan seseorang yang benar – benar menyayangiku serta mau menerimaku apa adanya, dialah yang mampu memalingkan cintaku dari wanita – wanita lain.

Dengan seperti ini aku tidak terjebak pada lubang yang sama, aku yang mencitai seseorang, namun bertepuk sebelah tangan, hanya orang bodohlah yang mau mencintai seseorang yang tidak mencintai, dholim  menempatkan cintaku bukan pada orang yang tepat.

Next time,,,,,,,
*******
Di saat aku sudah yakin  bahwa dialah yang benar-benar yang mau menerimaku apa adanya,,kenapa,, selalu ada tembok besar yang menghalangi kami untuk selalu bersatu hanya karena Aku terlahir bukan pada hari yang tepat menurut salah satu keluarganya,,,,,,

Ah,sebenarnya aku saat ini sedang rindu,,Bus,Truk,Pesawat, bahkan semua alat tranportasi tidak ada yang berkenan mengantarku ke tempat kekasihku,karena mereka tahu, Aku membawa beban angkut yang begitu berat, berton-ton atau bahkan ratusan ton kerinduan yang bertanggar di pundakku.

Wahai merpati,elang,garuda,,,?! Aku tahu kau takkan mampu mengantarkan Aku atau rinduku ke pangkuan kekasihku, maka sampaikanlah salam rinduku kepadanya,

Ah, Aku mencoba berbaur di tengah-tengah temanku untuk mengobati kesepianku, namun itu saja tak berhasil menggembirakanku, Ah, tak ada bedanya dengan aku sendiri, mungkin lebih baik akupun mencoba untuk pergi dan menyendiri,

*****

Kendati aku di tengah keramaian,  jauh di lubuk hati yang dalam akupun masih terasa kesepian, justru  dengan di keramaianlah yang selalu buyarkan lamunanku, kucoba cari tempat yang sepi dan akupun melamun,

Kutemui kekasihku, meski dalam lamunan, kerinduanku terasa terobati,


*****


Burung-burung berterbangan dari satu ranting ke ranting yang lain, pohon-pohon yang rindang memberikan nuansa kesejukan, bebatuan kecil yang berada di kali selalu  merasakan kesejukan, ah jelas sekali karena bebatuan itu selalu terjamah oleh sejuknya air yang turun dari pegunungan, ombak-ombak pun silih berganti membentur dinding pegunungan yang kebetulan bagian dari tepi laut, air yang turun dari pegunungan langsung masuk dan menyatu dengan air laut, yah ,,,yah karena pegunungan itu menempel dengan laut selatan, tentu saja itu membuat alam tampak sejuk , indah, dan excotice.

Siang itu, aku bersama dengan seorang cewek, ya,,,ya,,yaa,, siapa lagi kalo cewek itu bukan lain adalah cewek yang menjadi kekasihku, di tempat pariwisata itu memang sering sekali banyak pengunjung, di samping tempatnya yang sejuk, tempat itu juga luas dan ada tempat-tempat yang strategis bagi para pasangan kekasih untuk merajuk asmara.

Eh.. kita jalan-jalan kesana yu" , ucapku kepada kekasihku, setelah beberapa menit kami bersantai di warung sambil minum es sekedar menghilangkan rasa haus.

Oh .. ya  mas, kemana ?" jawab Nita
Ya,,,, jalan-jalan sambil lihat – lihat pantai". Jawabku.

Setelah membayar minuman dan beberapa makanan kecil, kami pun langsung meninggalkan tempat. Langkah demi langkah kaki kami menelusuri tepi pantai, titik-titik tempat yang teduh kami lewati, ah jala-jalan dengan kekasih memang tak terasa meski waktu sudah agak lama, Nita disampingku, ku rangkul dengan mesra, rambut yang indah, menyapa halus wajahku, ku biarkan rambut itu mengelus-elus wajahku, aku genggam erat tangannya, diapun diam, gerak-gerik yang manja membuatku makin terhipnotis oleh kelihaian dia menarik simpatiku untuk bercumbu, akupun mengajak Nita ketempat yang agak sepi, supaya perbincangan kami terasa nyaman tak ada yang akan mengusik lagi, kami pun terus melangkah, di ujung ranting pohon sepasang burung sriwiti beciuman mesra, disampingnya beberapa ekor burung sriwiti yang masih kecil, meminta induknya untuk disuapi, ah suatu pemandangan alam yang indah tergambar, di lingkungan pariwisata, kehidupan keluarga yang saling mengasihi, meski keluarga burung sriwiti, ah  apa burung pun berkeluarga seperti halnya manusia.

Kami berduapun melihat kemesraan yang dialami burung itu. Rupanya Nitapun peka dengan apa yang dia lihat, diapun semakin mempererat pelukannya ke sampingku, akupun tanggap bahwa dia butuh kemesraan, kami pun terus berjalan meluntasi tepi pantai yang nyaris mendekati semak-semak kecil namun lembut, tak berduri, tak di sadari, tanpa sengaja kami melihat sepasang muda – mudi yang sedang asik bercumbu, ditengah-tengah semak yang agak jauh dari kerumunan orang, melihat pemandangan itu, sontak wajah Nita merah menahan malu, lalu menatapku, dengan cepat langsung membenamkan wajahnya didadaku, berbeda denganku, aku yang melihat pemandangan itu hanya bisa menelan ludah, ah betapa asiknya mereka, seolah tak merasakan beban sama sekali.

Aku yang melihat reaksi Nita hanya bisa diam sambil membimbing ke tempat yang sepi tampa ada orang yang melihat, di tengah-tengah perjalanan dia semakin memper erat genggamannya, ah apakah dia tak merasa kalo dengan eratnya genggaman nya membuat jantungku semakin berdebar kencang, bak ombak yang selalu menghantam dinding pegunungan itu, aku semakin merasakan ada benturan benda aneh namun lembut, apakah dia tidak merasa kalo salah satu bagian tubuhnya yang kenyal menyentuh dadaku, ataukah sengaja untuk membangkitkan hasratku untuk mencumbu, ah memang susah wanita untuk di tebak, tak terasa kamipun telah menemkan tempat yang nyaman untuk kami bersantai.

Angin yang selalu ramah menyapa rambutnya yang lembut, jatuh ke wajahku, aku semakin bergetar, apalagi rambutnya yang wangi, mengundangku untuk bercumbu, ada inisiatif muncul ketika Nita makin manja ditempat yang sepi ini, apa aku coba untuk menciumnya, ya mungkin aku coba saja, dengan lembut aku genggam tangannya, mendekatkan tubuhnya supaya lebih erat lagi, lagi, lagi dan lagi, dan ternyata dia juga menyambut dengan mesra dan manja, aku coba membimbing kepalanya dengan kedua tanganku, aku dekatkan kewajahku, ah dia ternyata hanya diam sembari menutup kedua matanya, oh apakah ini isarat bahwa dia mau aku cium, ...............BERSAMBUNG  NEXT TIMES    
   

    

NEGARA KITA Tanggung jawab siapa,,,,,??

Oleh : Sahab Al haqir  II Aly


"…Urus saja moralmu,
Urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau.
Turunkan harga secepatnya
Berikan kami pekerjaan,
Adil dan makmur tak pandang bulu,
Pasti ku angkat engkau menjadi manusia setengahnya dewa,
Masalah moral,Masalah akhlak,
Biar kami cari sendiri….."


Bait lagu dari Iwan Fals diatas, merupakan kritikan pedas bagi para kaum birokrasi kepemerintahan, secara tidak langsung mewakili perasaan  rakyat Indonesia yang haus akan keadialan dan kesejahteraan,  melebihi suara wakil rakyat yang berada di gedung legislative, yang seharusnya mereka bertanggung jawab akan amanah yang di emban ,   kendati demikian, masih saja mereka belum jera akan suatu hal yang harus mereka benahi.

Sederetan kasus yang semestinya tidak terjadi, masih saja terus bergulir silih berganti, dari mulai kasus century, korupsi Gayus Tumbunan, kasus Bibit – Candra, kasus asusila peredaran video porno yang menimpa " Ariel "  mantan vokalis  grup band terkenal "piterpan", namun tak kunjung terselesaikan.

Hipotesis saya, bahwa sederetan kasus yang terjadi adalah pengalihan wacana supaya masarakat public tidak terfokus pada satu masalah yang belum selesai, kemudian muncullah kasus berikutnya, sehingga kasus yang sedang hangatnya untuk di bahas berakhir dengan ending yang bias tanpa jelas putusan yang memberikan efek jera pada pelaku, 

Di sisi lain juga banyak kasus yang terjadi di kalangan masyarakat, dari mulai kasus sering terjadinya pelajar mesum di bilik warnet yang tidak memenuhi standar  usaha yang sehat, bukan penyalahgunaan media informasi untuk hal – hal yang asusila.
tindak kriminal, perampokan, pencurian, pembobolan mesin ATM atau bahkan peredaran Narkoba dengan alasan karena tergiur dengan janji upah yang menggiurkan dan karena terhimpitnya perekonomian sehingga terpaksa harus melakukan hal – hal yang jelas merugikan oang lain.

Dalam  suatu kasus, pihak – pihak tertentu saling menyalahkan, menuntut tanggung jawab, meminta denda, atau bahkan meminta ganti rugi. Tanpa didasari norma – norma supaya dapat saling intropeksi diri sebelum menyalahkan orang lain, begitu juga dari pihak yang disalahkan, berkenankah untuk bias berbenah terhadap apa yang selama ini menjadi kekurangan.

Pertanyaan yang timbul adalah" Siapakah yang bertanggung jawab dengan semua ini…??"

Negara adalah suatu keluarga yang terdiri dari komponen keluarga terkecil sampai pada taraf nasional sehingga terbentuklah sesuatu yang di namakan dengan " NEGARA ".
Keluarga terkecil adalah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, anak.Keberlangsungan masa depan keluarga di atur dan di rencanakan serta lakukan secara bersama, tanpa harus membebankan pada individu tertentu yaitu sang ayah yang berstatus sebagai kepala keluarga, akan tetapi di lakukan secara bersama – sama demi tercapainya masa depan dan terwujudnya keharmonisan keluarga tanpa meninggalkan asas musyawarah bersama supaya terjadi keseimbangan antar anggota keluarga serta memperhatikan tugas dan kewajiban masing – masing.

Keluarga pada taraf nasional terdiri dari berbagai elemen masyarakat mikro maupun makro yang kesemuanya mempunyai tugas dan peranan masing – masing, dari berbagai elemen masyarakat tersebutlah terbentuk suatu birokrasi kepemerintahan pada taraf nasional yaitu "Negara" yang di kepalai oleh seorang presiden, tentunya tidaklah sesederhana seperti halnya keluarga terkecil.

Peranan setiap elemen masyarakat sangatlah penting, dari yang bersifat individu, keluarga terkecil, organisasi masyarakat, organisasi politik, organisasi yang belatar belakangkan keagamaan, seluruh jajaran kepemerintahan dari tingkat paling bawah sampai yang teratas sekalipun, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat keamanan. lembaga yang mengurusi perekonomian, pendidikan, kesejahteraan, serta kestabilitas keamanan baik di lingkungan tertentu maupun umum,dan sebagainya.

Semuanya punya peranan dan tanggunggung jawab demi tercapainya masa depan suatu Negara, dengan berlandaskan nilai – nilai luhur, dan rencana yang di atur dengan seksama.
Dari semua elemen masyarakat, lembaga, jajaran pemerintahan, organisasi politik, maupun organisasi yang berlatar belakangkan keagamaan, dapat  di klasifikasikan atau di kelompokkan ke dalam anggota yang ber- skala makro, dengan ketentuan  ada yang di ibaratkan sebagai Ayah, Ibu, Anak, yang pada dasarnya punya tanggung jawab dan peranan masing – masing demi tercapainya masa depan dan cita – cita suatu keluarga pada taraf nasional yaitu suatu " Negara".

Pada kalangan tertentu bertindak sebagai pelaksana, dan yang lainnya ada yang sebagai control and balance, ada yang memberikan  ide –ide, ada yang menjadi penyalur aspirasi da lain – lain.

Wal hasil, bahwa setiap  warga  Negara adalah bagian  dari pada keluarga pada taraf nasional yang di sebut " Negara", maka tanggung jawab masa depan suatu nagarapun tidaklah serta merta menjadi tanggung jawab perseorangan melainkan tanggung jawab kolektif  sesuai peranannya masing – masing.Wallohu A'lam bissowab.

  


Apa Yang Kamu Lihat Adalah Apa Yang Kamu Renungkan,Dan Hanya Orang Ganteng dan Cantik Yang Mau Baca Blog ini

 
Design by Wordpress Theme | Modified Template by Darmanto