Artikel Terpopuler

Cerpen

Wednesday, January 4, 2012

KHILAFAH, AGENDA ATAU NOSTALGIA ?

 Disampaikan dalam acara

Kuliah Jum'at Dewan Murid 2012 M

Jum'at : 06 Januari 2012 M / 12 Shofar 1433 H

Oleh: K. M. Idrus Ramli S.Pdi, Jember

Khilafah dalam Hadits-Hadits Nabi SAW

Khilafah adalah kepemimpinan terhadap kaum Muslimin di seluruh dunia, yang akan mengatur urusan mereka, baik dalam ranah agama maupun dunia, sebagai pengganti dan penerus (khilafah) kepemimpinan Nabi r.[1] Dalam beberapa hadits, Nabi r telah mengisyaratkan tentang kepemimpinan khilafah setelah beliau wafat. Antara lain hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ t خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ.
Abu Hazim berkata: “Aku belajar kepada Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengarnya menyampaikan hadits dari Nabi r yang bersabda: “Kaum Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi meninggal, maka akan diganti oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Dan akan ada para khalifah yang banyak.” Mereka bertanya: “Apakah perintahmu kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah dengan membai’at yang pertama, lalu yang pertama. Penuhilah kewajiban kalian terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang menjadi tanggung jawab mereka.[2]
Menurut al-Imam al-Nawawi, hadits di atas termasuk mukjizat yang jelas bagi Nabi r, dimana beliau mengabarkan tentang banyaknya para khalifah yang akan memimpin umatnya sesudahnya. Kenyataannya, sesudah beliau wafat, umat Islam memang dipimpin oleh para khalifah.
Tentu saja tidak dapat dibenarkan pendapat yang mengatakan bahwa hadits di atas menjadi dalil yang mewajibkan berjuang menegakkan khilafah. Hadits di atas hanya sebatas berita gembira (bisyarah), kepemimpinan  khilafah sesudah Nabi r wafat. Seandainya hadits tersebut menjadi dalil wajibnya menegakkan khilafah, tentu saja Nabi r akan berkata, “Tegakkanlah khilafah sesudahku, karena tidak ada nabi lagi yang akan memimpin kalian sesudahku.”
Di sisi lain Rasulullah r juga mengabarkan tentang masa khilafah al-nubuwwah (khilafah yang konsisten menerapkan ajaran-ajaran Nabi r), sesudahnya yang hanya akan berjalan selama tiga puluh tahun. Dalam hadits lain Nabi r bersabda:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حدثني سَفِينَةُ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ لِي سَفِينَةُ أَمْسِكْ خِلاَفَةَ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ وَخِلاَفَةَ عُمَرَ وَخِلاَفَةَ عُثْمَانَ ثُمَّ قَالَ لِي أَمْسِكْ خِلاَفَةَ عَلِيٍّ قَالَ فَوَجَدْنَاهَا ثَلاَثِينَ سَنَةً قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ بَنِي أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلاَفَةَ فِيهِمْ قَالَ كَذَبُوا بَنُو الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ.
Sa’id bin Jumhan berkata: Safinah menyampaikan hadits kepadaku, bahwa Rasulullah r bersabda: Pemerintahan Khilafah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan. Lalu Safinah berkata kepadaku: Hitunglah masa kekhilafahan Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun) dan Utsman (12 tahun). Safinah berkata lagi kepadaku: Tambahkan dengan masa khilafahnya Ali (6 tahun). Ternyata semuanya tiga puluh tahun. Sa’id berkata: Aku berkata kepada Safinah: Sesungguhnya Bani Umayah berasumsi bahwa khilafah ada pada mereka. Safinah menjawab: Mereka (Bani Umayah) telah berbohong. Justru mereka adalah para raja, yang tergolong seburuk-buruk para raja.[3]
Hadits di atas menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa kepemimpinan khilafah yang mengatur roda pemerintahan umat sesuai dengan ajaran kenabian (khilafah al-nubuwwah) dan menerapkan syariat Islam secara sempurna, hanya berjalan selama tiga puluh tahun, yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali y. Sebagian ulama ada yang memasukkan masa pemerintahasan Sayidina Hasan bin Ali t ke dalam khilafah al-nubuwwah ini, karena masa kekuasaan beliau melengkapi masa tiga puluh tahun tersebut. Sementara para khalifah sesudah mereka, meskipun menyandang gelar sebagai khalifah dan Amirul Mukminin, mereka adalah para raja yang mengatur roda pemerintahan tidak sesuai dengan ajaran kenabian, yaitu sejak dari khilafah Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan Bani Utsman. Hal ini juga dipertegas oleh hadits berikut ini:
عَنْ أَبِيْ عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: "إِنَّ أَوَّلَ دِيْنِكُمْ بَدَأَ نُبُوَّةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ خِلاَفَةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكاً وَجَبَرِيَّةً".
Abu Ubaidah bin al-Jarrah berkata: “Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya permulaan agama kalian dimulai dengan kenabian dan kerahmatan, kemudian dilanjutkan oleh khilafah dan kerahmatan, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan dan pemaksaan.[4]
Dalam hadits lain, Rasulullah r juga menyampaikan bahwa umat Islam ini akan kokoh dalam persatuan selama dipimpin oleh dua belas orang khalifah. Dalam hal ini Rasulullah r bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ t قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ r يَقُولُ إِنَّ هَذَا اْلأَمْرَ لاَ يَنْقَضِي حَتَّى يَمْضِيَ فِيهِمْ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.
Jabir bin Samurah berkata: “Aku mendengar Nabi r bersabda: “Sesungguhnya agama ini tidak akan punah kekuatannya sehingga dilalui oleh dua belas orang khalifah yang kesemuanya dari suku Quraisy.[5]
Menurut al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh, maksud hadits di atas adalah umat Islam akan berada pada masa kejayaan, kekuatan, semua urusan mereka istiqamah dan bersatu di bawah komando seorang pemimpin selama dipimpin oleh dua belas orang khalifah. Pendapat al-Qadhi ‘Iyadh di atas diperkuat oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani dalam Syarh al-Bukhari. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, persatuan umat Islam di bawah satu komando seorang khalifah benar-benar terjadi pada masa-masa pemerintahan 12 orang khalifah, yaitu (1) Abu Bakar, (2) Umar, (3) Utsman dan (4) Ali sampai terjadinya arbitrase (tahkim) pasca perang Shiffin, sehingga sesudah itu Mu’awiyah juga mengklaim dirinya sebagai khalifah. Kemudian sesudah itu umat Islam bersatu di bawah komando (5) Mu’awiyah, sesudah perdamaian antara Sayyidina Hasan dengannya. Kemudian umat Islam bersatu di bawah komando (6) Yazid bin Mu’awiyah. Kemudian setelah Yazid bin Mu’awiyah meninggal, umat Islam bersatu lagi di bawah komando (7) Abdul Malik bin Marwan setelah terbunuhnya Abdullah bin al-Zubair. Kemudian umat Islam bersatu di bawah komando empat anak Abdul Malik bin Marwan, yaitu (8) al-Walid, (9) Sulaiman, (11) Yazid dan (12) Hisyam bin Abdul Malik. Sementara (10) Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah di antara Sulaiman dan Yazid. Setelah Hisyam bin Abdul Malik meninggal, umat Islam membai’at al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik, namun kemudian mereka membunuhnya, dan setelah itu kekacauan terjadi di mana-mana dan umat Islam tidak pernah bersatu lagi di bawah satu komando seorang khalifah hingga masa-masa sesudahnya.[6]
Semangat Hizbut Tahrir dalam memperjuangkan tegaknya khilafah, juga didasarkan atas bisyarah nabawiyyah (kabar gembira dari Nabi r) yang diasumsikan menjanjikan kembalinya khilafah al-nubuwwah kepada umat Islam. Bisyarah tersebut terdapat dalam hadits berikut ini:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ t قَالَ إِنَّ النَّبِيَّ r قَالَ:  تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا شَاءَ، ثُمَّ تَكُوْنُ الْخِلاَفَةُ عَلىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا فَتَكُوْنُ مُلْكًا مَا شَاءَ اللهُ، ثُمَّ يَرْفَعُهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهُ ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ.
“Dari Hudzaifah bin al-Yaman t, berkata: “Sesungguhnya Nabi r bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah I mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya dan diganti dengan kerajaan yang memaksakan kehendaknya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian. Lalu Nabi r diam.[7]
Hadits di atas telah membagi kepemimpinan umat Islam pada empat fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin langsung oleh Nabi r. Kedua, fase khilafah yang sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat, fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Dan kelima, kembali ke khilafah yang sesuai dengan jalan kenabian lagi.
Para ulama ahli hadits generasi salaf yang saleh telah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bisyarah khilafah al-nubuwwah pada fase kelima dalam hadits di atas adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, penguasa ke delapan dalam dinasti Bani Umayah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh perawi hadits Hudzaifah bin al-Yaman di atas, yaitu Habib bin Salim yang berkata:
قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ.
Habib bin Salim berkata: “Setelah Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, sedangkan Yazid bin al-Nu’man bin Basyir menjadi sahabatnya, maka aku menulis hadits ini kepada Yazid. Aku ingin mengingatkannya tentang hadits ini [yang aku riwayatkan dari ayahnya]. Lalu aku berkata kepada Yazid dalam surat itu: “Sesungguhnya aku berharap, bahwa Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mengikuti minhaj al-nubuwwah sesudah kerajaan yang menggigit dan memaksakan kehendak.” Kemudian suratku mengenai hadits ini disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz, dan ternyata beliau merasa senang dan kagum dengan hadits ini.
Di antara ulama yang menyatakan bahwa maksud khalifah dalam hadits di atas adalah Umar bin Abdul Aziz, adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Bazzar, Abu Dawud al-Thayalisi, Abu Nu’aim al-Ashfihani, al-Hafizh al-Baihaqi, al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) dan lain-lain.[8]
Hadits Hudzaifah di atas tidak bisa dijadikan dalil wajibnya menegakkan khilafah. Dalam hadits di atas, Nabi r tidak bersabda: “Tegakkanlah khilafah nubuwwah itu.” Nabi r hanya bersabda: “Akan ada khilafah nubuwwah”, yang berarti hadits tersebut sebatas bisyarah (kabar gembira) tentang khilafah nubuwwah sesudah beliau wafat.
Di sisi lain, Hizbut Tahrir juga tidak jarang dalam menjustifikasi visi dan misi perjuangan mereka untuk menegakkan khilafah tunggal di muka bumi, berargumentasi dengan ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang membawa bisyarah (kabar gembira) tentang kemenangan Islam menghadapi seluruh agama di seluruh dunia. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (٣۲) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (٣٣). التوبة.
“Orang-orang kafir itu ingin memadamkan cahaya Allah, yaitu agama Islam, dengan tuduhan-tuduhan palsu mereka. Tetapi Allah hanya ingin menyempurnakan cahaya-Nya dengan memenangkan agama dan menolong Rasul-Nya, meskipun mereka tidak menyukai hal itu. Dialah Allah yang menjamin penyempurnaan cahaya-Nya dengan mengutus rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa bukti- bukti yang jelas dan agama kebenaran (Islam) agar agama ini terangkat tinggi melebihi semua agama sebelumnya. Sungguh Allah pasti akan memenangkan agama-Nya walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai hal itu.” (QS. al-Taubah : 32-33).
Ayat di atas menegaskan, bahwa Islam akan menang menghadapi seluruh agama di dunia. Dalam beberapa hadits shahih, Rasulullah r juga bersabda:
عَنْ مَسْعُودِ بْنِ قَبِيصَةَ t يَقُولُ صَلَّى هَذَا الْحَيُّ مِنْ مُحَارِبٍ الصُّبْحَ فَلَمَّا صَلَّوْا قَالَ شَابٌّ مِنْهُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ إِنَّهُ سَيُفْتَحُ لَكُمْ مَشَارِقُ اْلأَرْضِ وَمَغَارِبُهَا وَإِنَّ عُمَّالَهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مَنْ اتَّقَى اللهَ وَأَدَّى اْلأَمَانَةَ.
Mas’ud bin Qabishah berkata: “Marga Muharib ini menunaikan shalat shubuh. Setelah itu, seorang pemuda di antara mereka berkata: “Aku mendengar Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya negeri-negeri Timur dan Barat di seluruh bumi ini akan ditaklukkan oleh kalian (umat Islam), dan sesungguhnya para pegawainya akan masuk ke neraka kecuali orang yang takut kepada Allah dan menunaikan amanat.[9]
Dalam hadits lain Rasulullah r juga bersabda:
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ t قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ لَيَبْلُغَنَّ هَذَا اْلأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَلاَ يَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللهُ هَذَا الدِّينَ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللهُ بِهِ اْلإِسْلاَمَ وَذُلاًّ يُذِلُّ اللهُ بِهِ الْكُفْرَ.
Tamim al-Dari berkata: Aku mendengar Rasulullah r bersabda: Sungguh agama ini akan sampai ke negeri-negeri yang dicapai oleh waktu siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan rumah di kota-kota dan di desa-desa kecuali akan dimasuki oleh agama ini, dengan kemuliaan orang yang mulia dan kehinaan yang hina. Kemuliaan dimana Allah memuliakan Islam dan kehinaan dimana Allah menghinakan kekufuran.[10]
Hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa menjadi bisyarah (kabar gembira) bagi umat Islam, bahwa mereka akan menaklukkan seluruh negeri di Barat dan Timur. Islam akan tersebar dan menguasai seluruh dunia, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tidaklah tepat jika diasumsikan bahwa Bisyarah dalam hadits di atas tidak mungkin menjadi kenyataan kecuali melalui sistem pemerintahan khilafah, dimana kaum Muslimin berada di bawah satu komando seorang pemimpin yang bernama khalifah.
Memang hadits di atas menjadi bisyarah bagi umat Islam tentang masa depan agama mereka yang pasti akan lebih cerah dan meraih kejayaan menghadapi musuh-musuhnya, utamanya di era modern ini, dimana kaum Muslimin tengah mengalami kekalahan yang sangat tragis menghadapi imperialisme Barat yang memporak-porandakan persatuan umat dan menghancurkan tatanan serta nilai-nilai budaya islami yang telah mengakar kuat lebih dari seribu tahun yang lalu. Asumsi bahwa bisyarah dalam hadits di atas dapat menjadi kenyataan apabila kaum Muslimin telah menegakkan atau memperjuangkan sistem khilafah, adalah asumsi belaka yang tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena hadits-hadits di atas, baik secara tersirat maupun secara tersurat, tidak mengisyaratkan bahwa bisyarah tersebut akan terjadi ketika khilafah telah kembali ke tangan kaum Muslimin. Dalam hadits di atas Nabi r tidak bersabda: “Kabar gembira ini akan terjadi apabila kalian memperjuangkan tegaknya khilafah, atau kalian bersatu di bawah naungan khilafah.” Bahkan para ulama salaf menegaskan bahwa kejayaan dan kemenangan Islam menghadapi seluruh agama di muka dunia, seperti yang diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an dan hadits-hadits di atas akan menjadi kenyataan ketika Nabi Isa u turun ke dunia menjelang hari kiamat nanti, setelah Dajjal turun menyebarkan kesesatan dan kerusakan di seluruh muka bumi. Dalam konteks ini al-Imam Ibn Jarir al-Thabari berkata:
قَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ التَّأْوِيْلِ فِيْ مَعْنَى قَوْلِهِ:(لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ). فَقَالَ بَعْضُهُمْ: ذَلِكَ عِنْدَ خُرُوْجِ عِيْسَى، حِيْنَ تَصِيْرُ الْمِلَلُ كلُّهَا وَاحِدَةً. عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ فِي قَوْلِهِ: (لِيُظْهِرَهُ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ)، قَالَ: حِيْنَ خُرُوْجِ عِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ. وَعَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ:(لِيُظْهِرَهُ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ)، قَالَ: إِذَا خَرَجَ عِيْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ، اِتَّبَعَهُ أَهْلُ كُلِّ دِيْنٍ.
“Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah, “sungguh Allah pasti akan memenangkan agama-Nya”, maka sebagian ulama berkata, hal itu akan terjadi ketika Nabi Isa u keluar dan seluruh agama menjadi satu (Islam). Diriwayatkan dari Abu Hurairah tentang firman Allah, “sungguh Allah pasti akan memenangkan agama-Nya”, ia berkata: “Ketika keluarnya Isa bin Maryam u.” Abu Ja’far Muhammad al-Baqir berkata mengetani firman Allah, “sungguh Allah pasti akan memenangkan agama-Nya”, ketika Nabi Isa u keluar, maka Islam akan diikuti oleh seluruh penganut agama-agama.”[11]
Dalam bagian lain, Ibn Jarir al-Thabari juga meriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ مُجَاهِدٍ، قَوْلُهُ ( حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ) قَالَ: حَتَّى يَخْرُجَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ، فَيُسْلِمَ كُلُّ يَهُوْدِيٍّ وَنَصْرَانِيٍّ وَصَاحِبِ مِلَّةٍ، وَتَأْمَنُ الشَّاةُ مِنَ الذِّئْبِ، وَلاَ تَقْرِضُ فَأْرَةٌ جِرَابًا، وَتَذْهَبُ الْعَدَاوَةُ مِنَ اْلأَشْيَاءِ كُلِّهَا، ذَلِكَ ظُهُوْرُ اْلإِسْلاَمِ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ، وَيَنْعَمُ الرَّجُلُ الْمُسْلِمُ حَتَّى تَقْطُرَ رِجْلُهُ دَمًا إِذَا وَضَعَهَا.
“Diriwayatkan dari Mujahid: “Maksud firman Allah, “sehingga peperangan selesai”, Mujahid berkata: “Ketika Nabi Isa bin Maryam u keluar, maka setiap pengikut agama Yahudi, Nasrani dan agama-agama lain akan memeluk Islam. Kambing akan aman dari singa. Tikus tidak akan menggigit kantong. Permusuhan akan lenyap dari segalanya. Itulah kemenangan Islam atas seluruh agama. Laki-laki Muslim menjadi senang, sehingga kakinya akan meneteskan darah ketika menaruhnya.”[12]
Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi berkata dalam tafsirnya al-Durr al-Mantsur:
وَأَخْرَجَ سَعِيْدُ بْنِ مَنْصُوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَالْبَيْهَقِيُّ فِيْ سُنَنِهِ عَنْ جَابِرٍ t فِيْ قَوْلِهِ (لِيُظْهِرَهُ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ) قَالَ: إِذَا خَرَجَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ اِتَّبَعَهُ أَهْلُ كُلِّ دِيْنٍ. وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ وَاَبُو الشَّيْخِ وَالْبَيْهَقِيُّ فِيْ سُنَنِهِ عَنْ مُجَاهِدٍ فِيْ قَوْلِهِ (لِيُظْهِرَهُ عَلىَ الدِّيْنِ كُلِّهِ) قَالَ: لاَ يَكُوْنُ ذَلِكَ حَتَّى لاَ يَبْقَى يَهُوْدِيُّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ وَلاَ صَاحِبُ مِلَّةٍ إِلاَّ اْلإِسْلاَمَ حَتَّى تَأْمَنَ الشَّاةُ الذِّئْبَ وَالْبَقَرَةُ اْلأَسَدَ وَاْلإِنْسَانُ الْحَيَّةَ وَحَتىَّ لاَ تَقْرِضَ فَأْرَةٌ جِرَابًا وَحَتَّى تُوْضَعَ الْجِزْيَةُ وَيُكْسَرَ الصَّلِيْبُ وَيُقْتَلَ الْخِنْزِيْرُ وَذَلِكَ إِذَا نَزَلَ عِيْسىَ ابْنُ مَرْيَمَ u.
“Telah meriwayatkan Sa’id bin Manshur, Ibn al-Mundzir dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra dari Jabir t mengenai firman Allah: “Sungguh Allah pasti akan memenangkan agama-Nya”. Jabir berkata: “Ketika Nabi Isa Ibn Maryam u keluar, maka Islam akan diikuti oleh penganut seluruh agama.” Telah meriwayatkan Ibn al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, Abu al-Syaikh dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra dari Mujahid mengenai firman Allah: “Sungguh Allah pasti akan memenangkan agama-Nya”. Mujahid berkata: “Kemenangan Islam atas seluruh agama tidak akan terjadi sehingga tidak tersisa orang Yahudi, Nasrani dan penganut agama lain, kecuali memeluk Islam, sehingga kambing dan sapi menjadi aman dari singa, manusia aman dari ular, tikus tidak menggigit kantong, upeti diletakkan dan babi dibunuh. Hal itu  terjadi ketika Nabi Isa bin Maryam u turun.[13]
Demikianlah beberapa riwayat dari ulama salaf yang menegaskan bahwa kemenangan Islam menghadapi seluruh agama akan terjadi ketika Nabi Isa bin Maryam u turun ke dunia, ketika menjelang hari kiamat nanti.
Disamping itu, kita juga mendapatkan sekian banyak bisyarah nabawiyyah yang terjadi tidak melalui tangan para khalifah, namun justru terjadi melalui tangan para ulama, orang-orang saleh dan para raja yang baik yang bukan khalifah. Hal ini dapat diketahui dari buku-buku sejarah Islam yang mudah dibaca.
Di sisi lain, Rasulullah r juga mengisyaratkan tentang hilangnya khilafah dari tangan kaum Muslimin pada akhir zaman seperti sekarang ini. Dengan terpecah belahnya umat Islam menjadi puluhan negara, masing-masing dipimpin oleh seorang kepala negara. Dalam hal ini Rasulullah r bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسْتُمْ فِتْنَةً فَتُتَّخَذُ سُنَّةً يَرْبُوْ فِيْهَا الصَّغِيْرُ وَيَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ وَإِذْ تُرِكَ مِنْهَا شَيْءٌ قِيْلَ تُرِكَتْ سُنَّةً. قَالُوْا مَتَى ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا كَثُرَ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّتْ عُلَمَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ اْلآَخِرَةِ وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ اللهِ.
“Dari Abdullah bin Mas’ud t, berkata, Rasulullah r bersabda: “Bagaimana kondisi kalian, ketika fitnah (jalan yang keliru) menyelimuti kalian dan dijadikan sebagai jalan yang baik. Pada waktu itu, anak kecil cepat menjadi dewasa, dan orang dewasa cepat menjadi tua. Apabila fitnah itu ditinggalkan, maka akan dikatakan telah meninggalkan jalan yang baik.” Mereka bertanya: “Kapan hal itu terjadi wahai Rasulullah?” Rasulullah r menjawab: “Apabila banyak orang yang pandai pidato, tetapi sedikit orang yang mengerti agama. Banyak pemimpin negara, tetapi sedikit yang dapat dipercaya. Amal akhirat dilakukan untuk mencari dunia, dan ilmu agama dipelajari bukan karena Allah.”
Hadits di atas mengisyaratkan tentang akan lenyapnya kepemimpinan sentral kaum Muslimin, yang disimbolkan dengan sistem khilafah. Al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani berkata, hadits tersebut merupakan tanda-tanda akan terjadinya kiamat, di mana umat Islam dipimpin oleh sekian banyak kepala negara. Di jazirah Arab saja, terdapat lebih dari dua puluh amir, sebagai akibat dari kolonialisme Barat.[14]
Dengan demikian, asumsi bahwa hadits-hadits bisyarah nabawiyyah tentang kejayaan Islam akan terwujud jika  khilafah ditegakkan, tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Sementara hadits lain juga mengisyaratkan tentang akan lenyapnya sistem khilafah dari dunia Islam, dengan terpecah belahnya umat Islam menjadi puluhan negara. Hal tersebut bertentangan dengan visi dan misi kelompok yang terobsesi untuk  memperjuangkan tegaknya khilafah Islamiyah di muka bumi. Wallahu a’lam.

Cita-Cita Mulia dan Niatan Tulus

Seorang Muslim harus memiliki cita-cita mulia dan niatan tulus dalam memperjuangkan agamanya agar benar-benar menjadi agama yang rahmatan lil-’alamin sesuai dengan misi risalah Nabi r. Namun demikian cita-cita mulia dan niatan tulus belumlah cukup mengantarkan seseorang dalam berjuang. Lebih dari itu, ketulusan dan cita-cita mulia harus pula disertai dengan ilmu agama yang memadai, komitmen dan konsistensi yang kuat terhadap ajaran agama yang datang dari Allah dan Rasulullah r. Karena apabila cita-cita mulia dan niatan tulus dalam berjuang tidak disertai dengan ilmu pengetahuan agama yang memadai, maka bukan hanya kegagalan yang akan dicapai, bahkan tidak jarang akan menyesatkan orang lain yang menjadi objek dakwah. Nabi r bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ: إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
Abdullah bin Amr berkata: Aku mendengar Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu agama dengan mengambilnya dari hati hamba-hambanya, akan tetapi Allah mencabut ilmu agama dengan mencabut para ulama. Sehingga setelah tidak ada orang yang alim, maka orang-orang akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu mereka ditanya tentang hukum-hukum agama, ternyata mereka berfatwa dengan tanpa dibekali ilmu, akibatnya mereka tersesat dan menyesatkan orang lain. [15]
Hadits di atas menjelaskan bahwa kesesatan itu dapat saja terjadi ketika ilmu agama tidak lagi dimiliki oleh seorang pemimpin dalam berdakwah menegakkan agama Allah I. Hadits tersebut tidak mengisyaratkan bahwa kesesatan sosial di atas disebabkan oleh ketidaktulusan seorang pemimpin dalam berdakwah. Kesesatan dapat terjadi ketika ilmu pengetahun agama tidak dimiliki oleh para tokoh yang berdakwah. Kita dapat belajar dari sejarah masa silam, bagaimana orang-orang Khawarij dapat tersesat dari ajaran agama yang benar dan lurus, pada masa umat Islam masih kaya dengan generasi terbaik, yaitu para sahabat yang tulus dan mulia. Hal itu disebabkan, karena semangat dan militansi mereka dalam berjuang tidak dibarengi dengan pengetahuan dan ilmu agama yang memadai.
Selain ilmu pengetahun yang harus menjadi bekal setiap Muslim dalam memperjuangkan agamanya, ia juga harus dibekali dengan sikap hati-hati dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambilnya. Nabi r bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْد قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r:ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ: إِخْلاَصُ الْعَمَلِ، وَالنَّصِيْحَةُ لِوَلِيِّ اْلأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَكُوْنُ مِنْ وَرَائِهِمْ.
Ibn Mas’ud berkata, Nabi r bersabda: Tiga perkara yang dapat membersihkan hati seorang mukmin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu tulus dalam beramal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti kebanyakan kaum Muslimin, karena doa mereka akan selalu mengikutinya.[16]
Hadits di atas memberikan pesan moral yang sangat berharga dalam mengatur relasi sosial sesama Muslim, yaitu agar selalu mengikuti mainstream dan arus mayoritas kaum Muslimin. Karena orang yang selalu mengikuti ajaran dan mainstream mayoritas kaum Muslimin dalam hal akidah dan amal shaleh, maka barakah doa mereka akan selalu mengikuti dan melindunginya dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Sedangkan orang yang keluar dari mainstream mayoritas kaum Muslimin, maka dia tidak akan memperoleh barakah doa mereka, sehingga tidak akan terjaga dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Hadits tersebut secara tidak langsung mendorong kita agar selalu menjaga kebersamaan dengan mayoritas kaum Muslimin. Dalam hadits lain, Rasulullah r juga bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، وَمَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة.
Umar bin al-Khaththab t, berkata: Rasulullah r bersabda: Ikutilah kelompok yang banyak dan jauhi perpecahan. Karena syetan bersama orang yang sendirian. Syetan akan lebih jauh dari orang yang berduaan. Barangsiapa yang menginginkan tempat yang lapang di surga, maka ikutilah al-jama’ah.[17]
Kedua hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa memberikan pesan kepada kita agar selalu berhati-hati dan menjaga kesetiakawanan sosial sesama Muslim dengan tidak mengambil jalan yang nyeleneh dan menyimpang dari arus dan mainstream kaum Muslimin. Sikap yang nyeleneh dan menyimpang dari arus dan mainstream mayoritas kaum Muslimin akan mudah menjerumuskan seseorang terhadap perangkap syetan dan membawa pada kesesatan dalam beragama. Tidak jarang, seseorang yang memiliki militansi dan semangat yang menggelora dalam berjuang, mengambil kebijakan dan tindakan yang nyeleneh dari mainstream kaum Muslimin, dan hasilnya bukan kesuksesan yang ia dapatkan, namun justru ia sendiri dan pengikutnya terjerumus dalam kesesatan.
Dalam rentang sejarah Islam yang sangat panjang kita telah banyak mendapatkan pelajaran bagaimana sekte-sekte nyeleneh pada masa silam seperti sekte Khawarij, Qadariyah, Syi’ah, Murji’ah, Jabariyah, Jahmiyah, Mujassimah dan lain-lain dengan mudahnya terjerumus dalam jebakan dan perangkap syetan sehingga memiliki pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Pada abad modern kita juga dapat membaca bagaimana tokoh-tokoh seperti Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri ajaran Wahhabi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lainnya memiliki pendapat-pendapat yang berbeda dengan pendapat para ulama salaf dan menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Hal ini juga kita rasakan dalam pemikiran sebagian umat islam , seperti pendapat Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani serta pengikut-pengikutnya banyak yang menyimpang dari ajaran al-Qur’an, Sunnah dan pendapat para ulama salaf, sebagaimana akan dipaparkan dalam bagian-bagian berikut ini. Hal tersebut sebagai implikasi dari sikap syudzudz (nyeleneh)  dari mainstream kaum Muslimin (al-jama’ah).

Dari Mana Kita Memulai

Ada dua metode perjuangan dakwah islamiah, pertama: kelompok yang memfokuskan perjuangannya melalui jalur politik dengan visi dan misi tegaknya khilafah dan berlakunya syari’at Islam secara kaaffah melalui mesin kekuasaan dan pemerintahan. Kedua: kelompok yang memfokuskan perjuangannya melalui jalur dakwah dan pendidikan kemasyarakatan. Metode kedua inilah yang di perjuangkan oleh mayoritas ulama’ khususnya di Indonesia. Ironisnya Hal ini kemudian sering disalahpahami oleh kelompok pertama dengan anggapan bahwa gerakan mereka selama ini tidak mencerminkan ghirah dan orientasi pada berlakunya syari’at Islam di tanah air dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebenarnya para ulama di tanah air sejak dulu, memfokuskan perjuangan mereka melalui jalur dakwah dan pendidikan kemasyarakatan, dengan mengelola pesantren, madrasah, musolla dan pengajian-pengajian rutin kepada masyarakat sekitar mereka, karena berangkat dari pemahaman yang benar terhadap dalil-dalil agama.
Dalam setiap kesempatan berdakwah dan pendidikan kemasyarakatan, para ulama dan kiai selalu mengajarkan kepada santri-santri dan masyarakatnya tentang bagaimana menjalankan ajaran agama dengan benar dan sempurna, seperti menunaikan shalat, puasa, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban agama lainnya secara baik dan sempurna. Hal ini dilakukan karena berangkat dari suatu keyakinan, bahwa dalam pengamalan syari’at sehari-hari, baik dalam ranah individu maupun sosial, umat Islam harus dibekali dengan ilmu pengetahuan agama yang memadai, sehingga mereka dapat mengamalkan kewajiban-kewajiban agama sesuai dengan tuntunan dan ajaran al-Qur’an dan sunnah.
Apabila umat berhasil dididik dengan baik, lalu mereka dapat menerapkan kewajiban-kewajiban individu mereka kepada Allah secara baik dan sempurna, maka tanpa disadari dengan sendirinya akan terbangun kesalehan individual yang pada akhirnya akan membawa pada kesalehan sosial. Hal ini sebagaimana misalnya ditegaskan dalam ayat al-Qur’an:
اُتْلُ مَا أُوْحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ، إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ. (العنكبوت:45)
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-’Ankabut : 45).
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa shalat yang sempurna dapat mencegah seseorang dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dalam sebuah hadits Rasulullah r bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ r فَقَالَ: إِنَّ فُلاَناً يُصَلِّيْ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحَ سَرِقَ؟ فَقَالَ: إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا تَقُوْلُ.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi r lalu berkata, Sesungguhnya si fulan itu selalu menunaikan shalat malam, tetapi ketika di pagi hari dia mencuri. Nabi r menjawab: Shalatnya akan menghentikannya mencuri.[18]

Lingkungan Masyarakat Ideal

Ada asumsi di sebagian kalangan, bahwa pemimpin yang baik dapat merubah keadaan masyarakatnya menjadi lebih baik dan menanamkan nilai-nilai kesalehan dalam ranah individu dan sosial. Asumsi ini dapat dibenarkan apabila yang dimaksudkan dengan pemimpin tersebut adalah seorang nabi atau rasul. Akan tetapi apabila yang dimaksudkan dengan pemimpin tersebut adalah seorang kepala pemerintahan seperti presiden, raja dan khalifah, maka asumsi tersebut tidak benar. Sebab lahirnya pemimpin yang baik tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik. Seorang pemimpin yang baik tidak akan dapat menerapkan berlakunya hukum-hukum syari’at terhadap rakyatnya tanpa dukungan masyarakat yang dipimpinnya.
Hal ini bisa kita lihat dengan memperhatikan sejarah perjalanan penguasa masa lalu yang diabadikan dalam al-Qur’an dan hadits. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa setelah Rasulullah r mengirimkan surat kepada Heraclius, Kaisar Romawi di Syria, yang dikirimkan melalui Dihyah bin Khalifah al-Kalbi, maka Heraclius membaca surat itu yang isinya:
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Heraclius, yang dipertuan agung Romawi. Keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sesungguh-nya aku mengajakmu memeluk agama Islam. Masuklah kamu ke dalam agama Islam, agar kamu selamat dan Allah akan memberikan pahala bagimu dua kali lipat. Apabila kamu berpaling dari ajakan ini, maka kamu akan menanggung beban dosa-dosa rakyat dan para petani. “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali-Imran : 64).”
Setelah ia selesai membaca surat tersebut, orang-orang di sekitar Raja tersebut membikin kegaduhan dan berteriak-teriak, sebagai tanda penolakan mereka terhadap ajakan Nabi r. Setelah itu, Raja Heraclius pergi ke Himas. Di sana, Heraclius mengumpulkan para pembesar kerajaan Romawi dalam ruangan pertapaannya. Setelah mereka berkumpul, pintu-pintu ruangan tersebut dikuncinya rapat-rapat. Kemudian Heraclius muncul ke hadapan mereka dan berkata:
“Wahai bangsa Romawi, apakah kalian menginginkan keberuntungan dan kebaikan serta kerajaan kalian ini tetap kokoh dan tegak? Marilah kita membai’at dan mengikuti Nabi yang mengajak kita di dalam surat ini.”
Setelah mendengar pidato tersebut, para pembesar Romawi itu segera berdiri dan berhamburan lari keluar sebagai pertanda penolakan terhadap ajakan raja mereka. Akan tetapi pintu-pintu ruangan tersebut telah dikunci semua, sehingga mereka pun tidak dapat keluar. Setelah Heraclius melihat rakyatnya tidak mau diajak beriman dan ia merasa pesimis untuk mengajak mereka, maka ia berkata kepada mereka: “Kembali semua ke sini! Sebenarnya aku barusan mengatakan begitu hanya karena ingin membuktikan militansi dan kesetiaan kalian terhadap agama kalian. Sekarang aku telah yakin terhadap hal itu.” Mendengar perkataan Heraclius ini, para pembesar Romawi itu pun bersujud kepadanya.[19]
Hadits di atas menggambarkan, bagaimana seorang pemimpin yang bermaksud membawa rakyatnya ke jalan yang benar, namun tidak didukung oleh situasi yang kondusif, dimana rakyatnya tidak dapat menerima ajakannya dengan senang hati. Alih-alih akan diikuti oleh mereka, justru dia sendiri yang pada akhirnya mengikuti kemauan rakyatnya yang membangkang terhadap ajakan baik raja itu. Dalam al-Qur’an, Allah I juga menceritakan sebab kokohnya kerajaan Fir’aun terhadap kaumnya. Dalam hal tersebut Allah I berfirman:
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوْهُ، إِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا فَاسِقِيْنَ. (الزخرف : 54).
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (QS. al-Zukhruf : 54).
Ayat ini menyampaikan pesan kepada kita bahwa Firaun dapat mempengaruhi kaumnya, sehingga mereka menjadi rakyat yang patuh terhadap kemauan Fir’aun yang durjana dan mengaku sebagai tuhan itu, oleh karena kaumnya memang orang-orang yang fasik.
Berdasarkan kenyataan di atas, para ulama kita berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh baik secara individual maupun secara sosial. Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan baik dalam ranah individu maupun sosial, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh.

Tegaknya Khilafah Islamiyah

Dalam setiap kesempatan, kelompok pertama selalu membicarakan tentang urgensi tegaknya Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya solusi sakti yang dapat mengatasi segala problem akut yang sedang dihadapi umat Islam seperti kemiskinan, kemunduran, kebodohan, kekalahan umat Islam menghadapi hegemoni Barat, lemahnya pendidikan, dan bahkan ketika membicarakan soal-soal spele yang menimpa umat Islam seperti tentang jembatan yang ambruk, jalan raya yang rusak, daerah yang terkena banjir, musibah tanah longsor, gempa bumi dan lain sebagainya. Menurut mereka, seandainya Khilafah Islamiyah dapat ditegakkan, maka sudah barang tentu semuanya akan mudah diatasi dalam waktu yang lebih cepat dan lebih baik.
Asumsi semacam ini berangkat dari paradigma pemikiran mereka bahwa pemimpin yang baik dan sistem pemerintahan yang baik merupakan satu-satunya solusi yang sangat ampuh dalam mengatasi segala problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Tentu saja paradigma semacam ini sangat tidak bisa dinalar. Dalam pandangan agama, baik dan tidaknya sebuah negara dan bangsa, tidak tergantung pada pemimpin dan sistem pemerintahan yang baik, akan tetapi lebih ditentukan oleh kesalehan masyarakatnya. Al-Qur’an al-Karim menegaskan:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. (الأعراف:96).
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. al-A’raf : 96).
Ayat di atas menegaskan bahwa Allah I akan memberikan keberkahan kepada penduduk negeri-negeri, di manapun mereka berada, apabila mereka menjalani keimanan dan ketakwaan kepada Allah I. Jadi berkah dan tidaknya suatu negeri lebih ditentukan oleh keimanan dan ketakwaan individu masyarakatnya. Dalam ayat lain, Allah I juga menegaskan:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ. (النحل : 97).
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-Nahl : 97).
Pada masa Nabi r, umat Islam memenangkan peperangan dalam perang Badar dengan jumlah mereka yang sedikit yaitu 313 pasukan menghadapi pasukan kaum Musyrikin Quraisy yang berjumlah 1000 pasukan. Akan tetapi pada waktu peperangan Uhud, umat Islam mengalami kekalahan dengan jumlah sekitar tujuh puluh orang pasukan Muslim yang gugur sebagai martir. Pada waktu perang Uhud, pasukan Muslim berjumlah tujuh ratus orang, sementara kaum Musyrik berjumlah tiga ribu orang. Dalam peperangan tersebut, kaum Muslim menderita kekalahan karena sebagian pasukan Muslim, yaitu regu pasukan pemanah, melanggar perintah Nabi r agar tetap pada posisinya di atas gunung Uhud sebagai benteng pertahanan, baik ketika teman-teman mereka memperoleh kemenangan atau kekalahan. Akan tetapi, begitu mereka melihat teman-teman mereka di bawah memperoleh kemenangan dan saling berebut memunguti harta benda pasukan Musyrik yang ditinggal lari oleh pemiliknya, akhirnya regu pasukan pemanah itu terlena dengan harta benda tersebut dan lupa daratan sehingga meninggalkan perintah Nabi r agar tetap pada posisinya sebagai benteng pertahanan di bukit Uhud. Akibatnya, bukit Uhud itu kosong dari penjagaan regu pemanah, dan pasukan Musyrik mengetahuinya dari kejauhan, sehingga dengan segera pasukan Musyrik dibawah komando Khalid bin al-Walid melakukan serangan balik yang mematikan, sehingga situasi segera berbalik dan kaum Muslimin menderita kekalahan akibat serangan balik itu. Kisah ini memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita, bahwa pemimpin yang baik dan sistem yang baik tidak menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan kemenangan kaum Muslimin menghadapi musuh-musuh mereka. Kesejahteraan dan kemenangan kaum Muslim lebih ditentukan oleh kesalehan mereka baik dalam ranah individu maupun sosial. Kesalehan inilah yang berupaya ditanamkan oleh para ulama dalam visi dan misi perjuangan mereka dalam mendidik kader bangsa.
Di sini mungkin ada yang bertanya, apabila visi dan misi perjuangan para ulama lebih difokuskan terhadap pendidikan masyarakat agar menanamkan kesalehan individual dan kesalehan sosial, lalu apa yang harus kita lakukan ketika kita dihadapkan dengan penguasa dan sistem pemerintahan yang tidak Islami? Menjawab pertanyaan ini, marilah kita renungkan firman Allah I berikut ini:
وَكَذلِكَ نُوَلِّيْ بَعْضَ الظَّالِمِيْنَ بَعْضًا بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. (الأنعام : 129).
Demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. (QS. al-An’am : 129).
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Fakhruddin al-Razi berkata:
اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: اْلآيَةُ تَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الرَّعِيَّةَ مَتَى كَانُوْا ظَالِمِيْنَ، فَاللهُ تَعَالَى يُسَلِّطُ عَلَيْهِمْ ظَالِماً مِثْلَهُمْ، فَإِنْ أَرَادُوْا أَنْ يَتَخَلَّصُوْا مِنْ ذَلِكَ اْلأَمِيْرِ الظَّالِمِ فَلْيَتْرُكُوْا الظُّلْمَ. وَعَنْ مَالِكِ بْنِ دِيْنَارٍ: جَاءَ فِيْ بَعْضِ كُتُبِ اللهِ تَعَالَى: أَنَا اللهُ مَالِكُ الْمُلُوْكِ، قُلُوْبُ الْمُلُوْكِ وَنَوَاصِيْهَا بِيَدِيْ، فَمَنْ أَطَاعَنِيْ جَعَلْتُهُمْ عَلَيْهِ رَحْمَةً، وَمَنْ عَصَانِيْ جَعَلْتُهُمْ عَلَيْهِ نِقْمَةً، لاَ تَشْغَلُوْا أَنْفُسَكُمْ بِسَبِّ الْمُلُوْكِ، لَكِنْ تُوْبُوْا إِلَيَّ أُعَطِّفُهُمْ عَلَيْكُمْ .
Masalah kedua, ayat di atas menunjukkan bahwa apabila rakyat melakukan kezaliman, maka Allah akan mengangkat seorang yang zalim seperti mereka sebagai penguasa. Sehingga apabila mereka ingin melepaskan diri dari pemimpin yang zalim tersebut, hendaknya mereka meninggalkan perbuatan zalim. Diriwayatkan dari Malik bin Dinar: “Dalam sebagian kitab-kitab Allah I, Allah berfirman: “Akulah Allah, Penguasa raja-raja di dunia. Hati dan ubun-ubun mereka berada dalam kekuasaan-Ku. Barangsiapa yang taat kepada-Ku, aku jadikan raja-raja itu sebagai rahmat baginya. Dan barangsiapa yang durhaka kepada-Ku, aku jadikan raja-raja itu sebagai azab atas mereka. Janganlah kalian menyibukkan diri dengan memaki-maki para penguasa karena kezaliman mereka. Akan tetapi, bertaubatlah kalian kepada-Ku, maka akan Aku jadikan mereka mengasihi kalian.[20]
Paparan di atas memberikan kesimpulan kepada kita, bahwa tampilnya seorang pemimpin yang zalim yang memimpin dengan tangan besi serta menyebarkan kezaliman di tengah-tengah rakyat tidak dapat dilepaskan dari prilaku rakyat itu sendiri yang penuh dengan kezaliman dan kemaksiatan kepada Allah I. Allah I akan menumpas pemimpin yang zalim itu dan menggantinya dengan pemimpin yang saleh, menegakkan keadilan, menebarkan rahmat dan kasih sayang kepada rakyat, ketika rakyat itu telah bertaubat kepada Allah dengan meninggalkan perbuatan zalim dan maksiat yang mereka lakukan.
Berdasarkan hal tersebut, dalam berjuang para ulama lebih memfokuskan pada pembentukan kesalehan pribadi dan sosial, yang pada akhirnya akan membawa pada terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang dalam bahasa kita disebut dengan gemah ripah loh jinawi.
Dalam sekian banyak hadits, Nabi r juga menegaskan bahwa sebab terpuruknya kaum Muslimin dalam kekalahan menghadapi musuh-musuh mereka, bukan disebabkan hilangnya khilafah dari tangan mereka, namun lebih disebabkan oleh faktor individu masyarakat mereka. Dalam sebuah hadits shahih, Nabi r bersabda:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ r: يُوشِكُ اْلأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى اْلأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ، قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ، قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ.
Tsauban berkata, Rasulullah r bersabda: Akan segera tiba waktunya, bangsa-bangsa dengan mudah menguasai kalian, sebagaimana orang-orang yang makan dengan mudah menyantap makanan dalam satu bejana. Seorang sahabat bertanya: Apakah karena jumlah kami sedikit pada saat itu? Rasulullah r menjawab: Tidak, justru pada saat itu jumlah kalian banyak. Akan tetapi kalian laksana buih di atas air bah. Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian terhadap kalian dan Allah akan menanamkan rasa lemah dan tidak berdaya pada hati kalian. Seseorang bertanya, Apa sebab ketidakberdayaan kami wahai Rasulullah? Beliau r menjawab: Cinta dunia dan takut mati.[21]  
Dalam hadits lain, Rasulullah r juga bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ r:إِذَا تَخَفَّفَتْ أُمَّتِي بِالْخِفَافِ ذَاتِ الْمَنَاقِبِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ وخَصَفُوا نِعَالَهُمْ تَخَلَّى اللهُ مِنْهُمْ.
Ibn Abbas berkata, Rasulullah r bersabda: Apabila umatku telah memakai sepatu-sepatu yang indah, kaum laki-laki dan perempuan, dan mereka menyemir sepatu-sepatu mereka, maka Allah akan meninggalkan mereka.[22]
Dua hadits di atas, serta realitas historis kekalahan kaum Muslimin dalam perang Uhud, pada dasarnya mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa kesejahteraan, kejayaan, kemuliaan dan kemenangan kaum Muslimin hanya akan dapat dicapai ketika kaum Muslimin menanamkan kesalehan pribadi dan sosial dengan mengalahkan rayuan hawa nafsu dan kecintaan terhadap harta benda serta kehidupan duniawi yang fana ini. Kemenangan, kemuliaan dan kejayaan tidaklah tergantung pada tegaknya khilafah Islamiyah dengan sistem pemerintahan yang bagus, namun lebih tergantung pada kesalehan umat dalam menjalankan perintah Allah I. Karena itu, ketika kecintaan duniawi dan perasaan takut mati benar-benar merasuki jiwa dan hati nurani kaum Muslimin, maka hal itu menjadi alamat bahwa mereka akan menderita kekalahan menghadapi musuh.
Dalam rentang perjalanan panjang sejarah Islam, bisyarah nabawiyah (berita gembira dari Nabi r) tentang kejayaan dan kemenangan umat Islam banyak sekali yang terjadi di tangan para penguasa yang bukan khalifah dan justru pada masa-masa khilafah Islamiyah telah mandul dan kehilangan reputasinya di mata rakyat, di mana khilafah hanya tinggal simbol di tangan para khalifah yang tidak berdaya menghadapi para penguasa yang otoriter mengatur mereka. Misalnya kemenangan kaum Muslimin dalam peperangan Salib menghadapi orang-orang Kristen Eropa di tangan Sultan Nuruddin Zanki dan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, yang keduanya bukan khalifah.
Rasulullah r juga bersabda:
عن بِشْرٍ الْخَثْعَمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ r يَقُولُ: لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ اْلأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ.
Dari Bisyr al-Khats’ami t, bahwa dia mendengar Nabi r bersabda: “Kelak umatku akan benar-benar menaklukkan kota Konstan-tinopel. Maka sebaik-baik pemimpin, adalah pemimpin penaklukan itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan penakluk tersebut.[23]
Hadits ini merupakan bisyarah (kabar gembira) bahwa kaum Muslimin akan menaklukkan Konstantinopel, ibu kota negara Romawi Timur, simbol dan pusat peradaban agama Kristen pada masa itu. Bisyarah takluknya Konstantinopel tersebut ternyata berhasil pada hari Selasa 20 Jumadal Ula 857 H/29 Mei 1453 M di tangan Sultan Muhammad al-Fatih bin Sultan Murad Khan al-’Utsmani (835-886 H/1432-1481 M), yang pada saat itu masih berstatus sebagai seorang raja dan bukan khalifah. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa tegaknya khilafah Islamiyah bukan satu-satunya jaminan bagi kejayaan umat Islam.

Keprihatinan Setiap Muslim

Setiap Muslim yang sejati akan memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan saudaranya sesama Muslim. Ia akan merasa prihatin ketika melihat saudaranya sesama Muslim menghadapi problem serius dalam kehidupannya, lebih-lebih ketika problem itu berkaitan dengan urusan agama. “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Demikian hadits shahih yang sangat populer.
Namun demikian, perhatian dan keprihatinan Muslim terhadap saudaranya sesama Muslim harus disesuaikan dengan tuntunan dan ajaran agama. Perhatian dan keprihatinan yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama, hanya akan sia-sia belaka, bahkan tidak jarang dapat menjerumuskan kita sendiri ke dalam kesalahan yang fatal. Hal ini seperti yang kita lihat pada beberapa aliran dalam Islam yang merasa prihatin terhadap kondisi umat, namun keprihatinan mereka tidak sesuai dengan nafas dan ruh agama yang diatur di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Rasulullah r adalah teladan terbaik bagi umatnya. Selama hidupnya, beliau selalu memperhatikan dan mengusahakan agar manusia dapat diselamatkan dari siksa api neraka. Dalam sejarah perjalanan hidup beliau, ketika Nabi r pulang dari Tha’if dan membawa derita karena dikejar dan disakiti oleh kaum Musyrik Bani Tsaqif, Malaikat penjaga gunung datang kepada beliau dengan menawarkan jasa dan bantuan. “Rasulullah, kalau Anda berkenan, penduduk Makkah yang telah menyakiti Anda akan aku ratakan dengan dua gunung yang cukup besar?” Demikian kata Malaikat itu. Namun Nabi r menolaknya dan mengatakan: “Tidak, aku masih berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka, generasi yang akan menyembah Allah.” Demikian jawaban beliau, sebagai ekspresi keprihatinan seorang Nabi yang rahmatan lil-’alamin terhadap umat manusia agar sedapat mungkin diselamatkan dari siksa api neraka.
Beberapa aliran revivalisme dalam Islam juga mengekspresikan keprihatinan yang mendalam melihat kondisi umat Islam dewasa ini menghadapi aneka problem yang tidak berkesudahan. Namun sayang sekali keprihatinan mereka terkadang tidak sesuai dengan tuntunan agama. mereka merasa prihatin dan meratapi hilangnya khilafah dari genggaman kaum Muslimin, sistem yang menjadi simbol persatuan dan kejayaan umat pada masa silam, sejak Mustafa Kamal Attaturk menghapus sistem khilafah di Negara Turki dan kemudian menyulap Turki menjadi negara sekuler pertama dalam dunia Islam.
Dewasa ini ada sebagian kelompok yang berusaha membangkitkan emosi kaum Muslimin dalam meratapi hilangnya khilafah, namun tidak mampu memberikan solusi yang tepat agar kaum Muslimin keluar dari problem yang sebenarnya dihadapi oleh mereka. Sementara disisi lain ada juga kelompok merasa prihatin dan meratapi kondisi mayoritas kaum Muslimin, yang menurut asumsi mereka telah terjangkit penyakit kronis berupa kesyirikan dan kekufuran massal sejak generasi beberapa abad yang silam.
Tentu saja keprihatinan kelompok-kelompok semacam inilah yang perlu diprihatinkan, sebab apa yang mereka alami bagaikan berperang tanpa menghadapi musuh. Bukannya musuh yang didapat, namun justru mereka telah berperang dengan perasaannya sendiri. Dalam sekian banyak hadits yang ada, belum pernah didapati bahwa Nabi r memprihatinkan umatnya akan kehilangan khilafah dan atau akan terjerumus dalam kesyirikan secara massal. Hadits-hadits yang ada hanya menjelaskan bahwa Nabi r mengkhawatirkan umatnya akan tergoda dunia, mengikuti hawa nafsu, terjerumus dalam syirik kecil (al-syirk al-ashghar yaitu riya’, bukan al-syirk al-akbar), dirusak oleh orang munafiq yang pandai bicara dan para pemimpin yang menyesatkan. Di antara hadits-hadits yang menjelaskan keprihatinan Nabi r adalah hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيْمٍ عَنْ أَبِيْهِ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: يَا نَعَايَا الْعَرَبِ! يَا نَعَايَا الْعَرَبِ ثَلاَثاً، إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّيَاءُ وَ الشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ
Dari Abbad bin Tamim, dari ayahnya, berkata: Rasulullah r bersabda: Celaka orang Arab, celaka orang Arab sampai tiga kali. Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan kepada kalian adalah riya’ dan syahwat yang samar.[24]
عَنْ مَحْمُوْدِ بْنِ لَبِيْدٍ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، قَالُوْا: وَ مَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ ؟ قَالَ الرِّيَاءُ.
Mahmud bin Labid berkata: Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan pada kalian adalah syirik kecil. Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil itu?” Beliau menjawab: Riya’.[25]
عَنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِيْ كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمِ اللِّسَانِ.
Umar bin al-Khaththab berkata: Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya seuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku adalah setiap orang munafiq yang pandai bicara.[26]
عَنْ طَلْحَةِ بْنِ مُصَرِّفٍ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَتَخَوَّفُهُ عَلىَ أُمَّتِيْ آخِرَ الزَّمَانِ ثَلاَثاً: إِيْمَانًا بِالنُّجُوْمِ وَ تَكْذِيْبًا بِالْقَدَرِ وَ حَيْفَ السُّلْطَانِ.
Thalhah bin Musharrif berkata: Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku di akhir zaman adalah tiga perkara. Percaya kepada bintang, mendustakan qadar Allah dan penyelewengan seorang pemimpin.[27]
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّمَا أَخَافُ عَلىَ أُمَّتِيْ اْلاَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ.
Tsauban t berkata: Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya aku hanya mengkhawatirkan kepada umatku akan dirusak oleh para pemimpin yang menyesatkan.[28]
عَنْ حُذَيْفَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ رِدْئاً لِلإِسْلاَمِ، غَيَّرَهُ إِلىَ مَا شَاءَ اللهُ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلىَ جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ، قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ، أَيُّهُمَا أَوْلىَ بِالشِّرْكِ ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِيْ ؟ قَالَ : بَلِ الرَّامِيْ.
Hudzaifah berkata: Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang aku takutkan atas kalian adalah seorang laki-laki yang membaca al-Qur’an, sehingga setelah ia kelihatan indah karena al-Qur’an dan menjadi penolong agama Islam, ia merubahnya pada apa yang telah menjadi kehendak Allah. Ia melepaskan dirinya dari al-Qur’an, melemparnya ke belakang dan menyerang tetangganya dengan pedang dengan alasan telah syirik. Aku bertanya: Wahai Nabi Allah, siapakah di antara keduanya yang lebih berhak menyandang kesyirikan, yang dituduh syirik atau yang menuduh? Beliau menjawab: Justru orang yang menuduh syirik [yang lebih berhak menyandang kesyirikan].[29]
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ t قَالَ قال رَسُولُ اللهِ r إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَإِنَّ عَرْضَهُ كَمَا بَيْنَ أَيْلَةَ إِلَى الْجُحْفَةِ إِنِّي لَسْتُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوا بَعْدِي وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا أَنْ تَنَافَسُوا فِيهَا وَتَقْتَتِلُوا فَتَهْلِكُوا كَمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ.
Uqbah bin Amir berkata: “Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya aku adalah pendahulu kalian di telaga (Kautsar). Sesungguhnya luas telaga itu seperti antara Ailah dan Juhfah.  Sesungguhnya aku tidak khawatir kalian akan syirik sesudahku, namun aku khawatir kalian akan rebutan dunia dan bunuh-membunuh karenanya, sehingga akhirnya kalian binasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah binasa.”[30]
Hadits-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang tidak disebutkan di sini memaparkan bahwa Rasulullah r mengkhawatirkan umatnya akan terjangkiti penyakit riya’ [yang masih terkategori al-syirk al-ashghar], rebutan dunia, syahwat yang samar, dirusak oleh orang munafiq yang pandai bicara, para pemimpin yang menyesatkan dan menuduh syirik terhadap saudaranya karena pemahamannya yang keliru terhadap al-Qur’an. Rasulullah r tidak pernah mengkhawatirkan, umatnya akan kehilangan khilafah, atau umatnya akan terjerumus dalam kesyirikan dan kekufuran secara massal. Bahkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah r menegaskan bahwa beliau tidak mengkhawatirkan umatnya akan terjerumus dalam kesyirikan secara massal.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa keprihatinan mereka  menyebabkan problem di kalangan umat Islam yang sangat memprihatinkan, dengan banyaknya perpecahan dan penyesatan terhadap ajaran-ajaran agama yang ditimbulkannya.

Belajar dari Sejarah

Pada dasarnya sejarah memang bukan dalil dalam pengambilan keputusan hukum dalam agama. Tetapi sejarah masa silam tetap harus kita jadikan pelajaran yang berharga sebagai pertimbangan dalam menghadapi ranah kehidupan yang sedang dan akan kita jalani. Rasulullah r bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ r أَنَّهُ قَالَ: لا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ.
Abu Hurairah t meriwayatkan, bahwa Nabi r bersabda: “Janganlah seorang mukmin terperosok ke dalam jurang yang sama sampai dua kali.[31]
Hadits ini memberikan pesan yang sangat berharga kepada kita agar selalu berhati-hati dalam melangkah dan selalu mengambil pelajaran dari perjalanan sejarah sebelumnya untuk menjalani kehidupan yang sedang dan akan dihadapi, dalam ranah agama dan dunia, sehingga kita tidak mudah terjebak dalam kesalahan dalam mengambil sebuah kebijakan, dan lebih-lebih ketika menghadapi kelompok-kelompok baru yang membawa visi dan misi perubahan dalam ranah agama dan ideologi. Karena apabila kita membaca sejarah masa silam, maka akan kita dapatkan bahwa aliran-aliran revivalisme yang membawa visi dan misi perubahan dan perbaikan sistem pemerintahan selalu memiliki ideologi yang nyeleneh dan menyimpang dari arus dan mainstream kaum Muslimin.
Pada masa Sayidina Utsman, lahir gerakan revivalis yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba’, dengan membawa slogan tegaknya syari’at Islam dan perbaikan sistem pemerintahan dalam kemasan visi dan misi amar ma’ruf dan nahi munkar. Namun belakangan gerakan ini menjadi awal lahirnya dua sekte dalam Islam, yaitu Syi’ah dan Khawarij yang ajarannya banyak menyimpang dari tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.
Pada masa Bani Umayah, lahir pula gerakan revivalis yang dipelopori oleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani dengan visi dan misi yang sama. Namun kemudian Ma’bad membawa faham Qadariyah yang menjadi embrio lahirnya sekte Mu’tazilah.
Pada abad kedelapan Hijriah, lahir pula gerakan revivalis yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah al-Harrani yang membawa visi dan misi perubahan dalam ranah pemikiran. Ternyata ia membawa pandangan-pandangan yang menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Pada masa-masa kemunduran Islam lahir pula beberapa tokoh revivalis seperti Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, perintis gerakan Wahhabi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid Quthub yang membawa pandangan-pandangan nyeleneh dan menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Demikianlah sejarah telah menjadi saksi, dan sejarah tidak pernah bohong, bahwa gerakan-gerakan revivalis yang membawa angin surga perubahan dalam ranah ideologi dan pemikiran, selalu ditunggangi oleh pandangan-pandangan keliru yang menyimpang dari ruh ajaran Islam yang murni. Dewasa ini sejarah masa silam telah memutar ulang skenarionya, di mana kaum Muslimin dihadapkan lagi dengan aliran baru yang membawa pandangan-pandangan yang keluar dari mainstream mayoritas kaum Muslimin dalam ranah ideologi, hukum dan politik.
Sangat mungkin tokoh-tokoh revivalis seperti Ma’bad al-Juhani al-Qadari, Washil bin ‘Atha’ al-Mu’tazili, Ibn Taimiyah al-Harrani, Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Quthub dan Taqiyyuddin al-Nabhani membawa angin surga perubahan dalam ranah ideologi dan pemikiran didasari oleh cita-cita mulia dan hati yang tulus dalam usaha mereka untuk mengeluarkan umat Islam dari berbagai problem akut pada masa mereka hidup seperti keterbelakangan, ketertindasan, korupsi, kolusi, nepotisme, kekalahan, kebodohan dan lain-lain. Akan tetapi mungkin karena mereka terlalu bersemangat memperjuangkan apa yang menjadi obsesi mereka, pada akhirnya terjerumus ke dalam sikap ekstrem (ghuluw) dan memutlakkan ilmu pengetahuan mereka sendiri serta menutup diri dari ilmu pengetahuan orang lain. Pada akhirnya berakibat pada timbulnya sekian banyak gagasan dan pandangan yang menyimpang dari mainstream mayoritas kaum Muslimin. Alih-alih mereka akan menyelesaikan berbagai problem akut yang menimpa kaum Muslimin, justru mereka sendiri yang pada akhirnya menjadi problem akut yang harus diatasi oleh kaum Muslimin dan diamputasi dari tubuh umat Islam. Agaknya tokoh-tokoh seperti mereka yang sebenarnya menjadi maksud keprihatinan Nabi r dalam hadits shahih:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّمَا أَخَافُ عَلىَ أُمَّتِيْ اْلاَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ. (رواه البخاري ومسلم).
Tsauban t berkata: Rasulullah r bersabda: Sesungguhnya aku hanya mengkhawatirkan kepada umatku akan dirusak oleh para pemimpin yang menyesatkan.[32]
Hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa menjelaskan kepada kita tentang apa sebenarnya yang menjadi keprihatinan Nabi r terhadap umatnya. Sepertinya kita kesulitan menemukan hadits yang menjelaskan keprihatinan Nabi r terhadap hilangnya khilafah dari tangan kaum Muslimin.



[1] Sa’di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Ishthilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), hlm.  24.
[2] HR. Muslim, (hadits no. 3429).
[3] HR. Ahmad, (hadits no. 20910) dan al-Tirmidzi, (hadits no. 2152).
[4] HR. al-Bazzar, hadits hasan, lihat, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 11.
[5] HR. Muslim, (hadits no. 3393).
[6] Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 11-13.
[7] HR. Ahmad, (hadits no. 17680).
[8] Lihat; Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (hadits no. 22030), al-Bazzar, al-Bahr al-Zakhkhar, (hadits no. 2429), Musnad Abu Dawud al-Thayalisi, (hadits no. 433), al-Hafizh al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwwah, (hadits no. 2843), al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, juz 28, (www.saiid.net), hlm. 18, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1985), hlm. 179, dan Yusuf bin Isma’il al-Nabhani, Hujjah Allah ‘ala al-’Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 528.
[9] HR. Ahmad, (hadits no. 22030).
[10] HR. Ahmad, (hadits no. 16344).
[11] Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, juz 11 , hal. 423.
[12] Ibid juz 21 , hal. 188.
[13] Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, juz 7 , hal. 326.
[14] Al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, Muthabaqat al-Ikhtira’at al-‘Ashriyyah lima Akhbara bihi Sayyid al-Bariyyah, Kairo, Maktabah al-Qahirah, hal. 43. Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Darimi, Abu Nu’aim, al-Hakim dan lain-lain.
[15] HR. al-Bukhari, (hadits no. 98) dan Muslim, (hadits no. 4828).
[16] HR. al-Tirmidzi (2582), Ahmad (12871) dan al-Hakim (1/88) yang menilainya shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim.
[17] HR. al-Tirmidzi (2091), al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (9219) dan Ahmad (172). Menurut al-Tirmidzi, hadits ini hasan shahih. Al-Hakim juga menilainya shahih.
[18] HR. Ahmad dan al-Bazzar. Lihat, al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, juz 6, (Riyadh: Dar Thaibah, 1999), hlm. 282, (edisi Sami bin Muhammad Salamah).
[19] HR. al-Bukhari, (hadits no. 6).
[20] Al-Imam Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 13, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2000), hlm. 159.
[21] HR. Abu Dawud, hadits no. 4297 dan Ahmad, juz 5, hlm. 278. Lihat maksud hadits ini dalam, Ali al-Qari al-Harawi, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2001), hlm. 551, (edisi Jamal ‘Aitabi).
[22] HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, (hadits no. 11295). Lihat, al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-’Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, (Kairo: Dar al-Kutbi, 1996), hlm. 331.
[23] Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (18189), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (1200), Abu Nu’aim dalam Ma’rifat al-Shahabah (1101) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak yang juga menilainya shahih. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawa’id (6/219): “Para perawi hadits ini dapat dipercaya”.
[24] HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ juz 7, hlm. 122, dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilat al-Ahadits al-Shahihah, (hadits no. 508.)
[25] HR. Ahmad, juz 5, hlm. 428 dan 429, dan al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, juz 4, hlm. 201. Lihat al-Albani, dalam Silsilat al-Ahadits al-Shahihah, (hadits no. 951).
[26] HR. Ahmad, juz 1, hlm. 22 dan 44. Lihat al-Albani, dalam Silsilat al-Ahadits al-Shahihah, (hadits no. 1013).
[27] HR. Abu Amr al-Dawi dalam al-Fitan. Lihat al-Albani, dalam Silsilat al-Ahadits al-Shahihah, (hadits no. 1127).
[28] HR. Ahmad, (hadits no. 21359). Lihat, al-Hafizh al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, juz 5, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988), hlm. 239.
[29] HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya, (hadits no. 81), Abu Nu’aim dalam Ma’rifat al-Shahabah, (hadits no. 1747) dan al-Thahawi dalam Musykil al-Atsar, (hadits no. 725). Lihat al-Albani, dalam Silsilat al-Ahadits al-Shahihah, (hadits no. 3201).
[30] HR. Muslim, (hadits no. 4249).
[31] HR. al-Bukhari, (hadits no. 5668), dan Muslim, (hadits no. 5317).
[32] HR. Ahmad, (hadits no. 21359).

Apa Yang Kamu Lihat Adalah Apa Yang Kamu Renungkan,Dan Hanya Orang Ganteng dan Cantik Yang Mau Baca Blog ini

 
Design by Wordpress Theme | Modified Template by Darmanto