Oleh: M. Yudhie Haryono
Di dalam sejarah, di luar sorga, manusia
kecewa (GM/07). Menurut Sancho Panza (1996) hal itu karena, manusia menentukan,
Tuhan mengecewakan. Hipotesa inilah yang sekarang sedang berlangsung
di tengah drama demokrasi [liberal] yang kita pilih. Sulastomo [14/12] menulis
dengan satir dalam “Quo Vadis Demokrasi Kita.” Menurutnya, pilihan demokrasi
[liberal] saat ini ternyata sangat padat modal, berbiaya tinggi dan “belum
tentu menghasilkan yang terbaik.” Dengan merujuk pada biaya pemilu 2009 yang
diperkirakan menelan Rp. 47 triliun, menunjukan dengan jelas bahwa demokrasi
yang kita pilih adalah demokrasi yang mahal. Apalagi disertai absennya jaminan
kualitas bagi pemenang dan penyelenggaraannya. Kasus korupsi KPU pada pemilu
2004 adalah bukti nyata yang tidak bisa diganggu gugat.
Untuk menajamkan hipotesa ini,
Schumpeter [1976] pernah menulis bahwa, “yang paling mengerikan dari demokrasi
[liberal] dalah terbentuknya pemerintahan yang terdiri dari orang-orang tidak
layak memerintah.” Sebuah kumpulan elite dari hasil pemilu demokratis yang “gagal”
menjalankan amanat konstitusi dan janji kampanye sehingga tumpul dalam
menjalankan roda pemerintahan. Mengapa hal itu sampai terjadi? David Held
[2006] menjawab, ‘karena pemerintahan yang lahir tidak menjalankan empat hal
penting dari pesan demokrasi.’ Keempat hal itu adalah, pertama, pemerintahan
baru tidak mengedepankan fakta melainkan bermain pada retorika dan tebar
pesona. Kedua, aparatusnya tidak berorientasi jangka panjang, sebaliknya
romantis pada kemenangan pemilu bukan pada “pembangunan pasca kemenangan.”
Ketiga, pemerintahan baru lebih memihak kepentingan orang-perorang atau
kelompoknya tanpa memihak kepentingan umum yang berisikan rakyat kebanyakan.
Keempat, aparatusnya tidak memperbaharui dengan cepat filosofi pembangunan masa
lalu yang telah terbukti gagal dan tidak menetapkan target-target yang
berdimensi kesejahteraan rakyat banyak.
Jika melihat pada hipotesa di atas,
kita sepertinya sedang menyaksikan “stagnasi demokrasi kita.” Demokrasi yang
kita pilih bukan hanya menjadi status quo tetapi bahkan menghancurkan
“capaian-capaian” masa lalu yang masih baik serta membuyarkan harapan-harapan
akan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi yang kita pilih tidak pernah
bertumpu pada teori manapun kecuali pada madzab “daulat kuasa” segelintir orang
yang tak bercita-cita kerakyatan. Sebuah demokrasi yang rapuh di tingkat
teoritik dan tak berdaya di lapangan Indonesia.
Memang, memilih demokrasi adalah
memilih pada proses, nilai-nilai, alat sekaligus paradigma. Karena itu, jika
ada istilah yang bercitra indah melampaui fakta aktualnya, itulah demokrasi.
Kesadaran ini menghasilkan sikap kita untuk selalu terjaga. Sebab, yang
menyangka ada jalan pintas dalam demokrasi akan temukan jalan buntu. Yang yakin
ada tangan Tuhan dalam demokrasi akan temukan penyesalan seumur hidup. Yang
beriman ada “kuasa alam raya” dalam demokrasi akan dongkol dan putus asa.
Karena itu, kata Ariel Heryanto
[16/12], memang demokrasi merupakan pilihan bernegara yang terbaik dari yang
ada, tetapi demokrasi tidak boleh dikeramatkan. Sebaliknya, ia harus selalu
ditempatkan pada kaidah yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kita. Sebuah nilai
yang berangkat dari Pancasila dan pembukaan UUD45. Itu artinya seluruh prosedur
dan tata cara dalam berdemokrasi kita harus merujuk pada dua nilai fundamental
tersebut. Jika ingin menambahkan, kita dapat memberi tafsir berupa keinginan
mempertahankan warisan masa lalu yang masih baik dan relevan sambil menambah
dan memperbaharui dengan yang lebih baik di masa depan.
Dengan jujur harus diakui bahwa
warisan Pancasila dan UUD45 adalah warisan yang sangat berharga. Keduanya
digali dari lubuk hati yang sangat dalam oleh para pendiri republik. Kedunya
menjadi saksi sejarah pikiran, perasaan dan angan-angan yang dicanangkan untuk
membangun negara kita bersama. Sejarah keduanya adalah sejarah tentang
perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris
dan yang imajinatif. Kontruksi empirisnya berupa perjuangan kemerdekaan,
perjuangan mencapai kesejahteraan, perjuangan menegakkan keadilan dan
perjuangan menerima nilai-nilai modernitas. Singkatnya adalah perjuangan untuk
merdeka, mandiri dan modern. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA,
proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the persuit of
happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal
empirik sekaligus imajinatif berkenaan dengan kebutuhan dan harapan rakyat pada
yang riil sekaligus yang abstrak.
Sedang konstruksi yang imajinatif
adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika
atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan
imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban
dunia.
Dengan melihat dan merasakan hasil
[sementara] demokrasi liberal yang telah kita pilih maka tak ada pilihan lain
bagi kita kecuali untuk menyadari bahwa negara Indonesia adalah ‘konsepsi
politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk
merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka
ini, setiap rakyat dipertautkan dalam suatu komunitas politik yang berkedudukan
sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan
serta dalam naungan filosofi kekeluargaan. Sedang reformasi adalah usaha nalar
sadar waktu sekaligus wahyu untuk selalu memperbaiki perbuatan di masa lalu
yang salah sambil meneruskan yang benar serta menambah yang lebih baik.
Kesadaran tersebut akan menghadapkan
kita dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pembentukan sebuah
bangsa. Pertama, pembentukan sebuah bangsa mengandung momen identifikasi yang
melahirkan dominasi. Proses epistemis ini adalah mengenali diri sambil
mendefinisikannya bahwa bangsa ini dilahirkan demi dan atas nama anti
penjajahan [old-liberalism]. Kita merdeka sebab kita tidak ingin dijajah bangsa
lain sehingga bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Kedua, pembentukan sebuah
bangsa mengandung rasionalisasi atas cita-cita lanjutan yang kemudian
terumuskan dalam pembukaan UUD-45 yang menjadi cita-cita mulia dan menghasilkan
konsensus bahwa apapun amandemen yang kita lakukan, kita tidak akan mengubah
pesan dasarnya.
Selanjutnya kita berhadapan dengan
kondisi antropologis. Yaitu sebuah sikap cinta tanah air sebagai sesuatu yang
bernilai. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi
manusia untuk melakukan cinta terhadap bangsanya adalah langkah penting untuk
menemukan pemenuhan cita-cita bangsanya di masa depan. Hasilnya, kita
merindukan akan kepastian tentang kehidupan yang aman dan sentosa. Karena itu
kita bersemboyan bhineka tunggal ika dan menjauhi fanatisme, radikalisme, atau
ekstremisme.
Yang terakhir, kita berhadapan dengan
kondisi sosiologis. Kita tahu, pertumbuhan dan konsentrasi modal di dalam
masyarakat modern menimbulkan luapan populasi. Timbunan individu-individu dari
berbagai kelompok di satu tempat akan mengaburkan struktur-struktur sosial dan
politis masyarakat itu. Dalam timbunan populasi yang terkonsentrasi pada
kegiatan akumulasi modal seperti itu, terjadi defisit partisipasi politis
karena batas-batas publik dan privat diterjang oleh desakan kekuasaan modal.
Timbunan populasi semacam itu menghasilkan individu yang depolitis, yaitu
steril dari partisipasi demokratis. Karenanya diperlukan revitalisasi kondisi
dan nalar epistemologis, antropologis, dan sosiologis agar menghasilkan manusia
baru yang bervisi Indonesia Baru tetapi tetap bertumpu pada Pancasila dan
UUD45.
Inilah road map [peta jalan] bagi
demokrasi politik-ekonomi kita. Sebuah demokrasi yang berwatak “gotong royong”
dan bersemangat “kekeluargaan” serta bernalar keindonesiaan karena nyantol
dengan Pancasila dan UUD 45. Sebuah demokrasi yang pada awalnya oleh para
pendiri republik kita dulu dibuat badan semacam MPR yang berguna menjadi wadah
bagi bertemunya para “negarawan” dari seluruh tanah air dalam rangka menjawab
“problem” bangsa yang lebih besar di masa depan. Sebuah wadah untuk
mengantisipasi luas dan lebarnya negara, banyaknya kaum miskin, serta
antisipasi bagi munculnya “biaya tinggi” sehingga demokrasi mudah dibajak oleh
para plutokrat yang kekuasaan dan kapitalnya maha luas plus anti rakyat.[]
0 comments:
Post a Comment