Artikel Terpopuler

Cerpen

Saturday, May 26, 2012

AHLUSSUNNAH WALJAMAAH DAN PERANAN PESANTREN DALAM AKTUALISASI DAN PELESTARIANNYA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT

Oleh : DR. KH. Abdullah Syamsul Arifin M,Hi
Ketua Tanfidziyah PCNU Jember
Di sampaikan dalam acara Kuliah Jum’at
DEWAN MURID 2012 M
Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah
Pon Pes Karangmangu Sarang Rembang
Jum’at, 11 Mei 2012 M/19 Jumadil Akhir 1433 H



A.Hakikat Ahlussunnah Wal Jamaah

Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah wal Jamaah, jam’iah Nahdlatul Ulama semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai penganut, pengembang Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan sekuat tenaga, Nahdlatul Ulama berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah wa Jamaah.
Pada hakekatnya, Ahlussunnah wal Jamaah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya. Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa umatnya akan tergolong menjadi banyak sekali (73) golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah wa Jamaah. Atas pertanyaan parasahabat, apakah as-Sunah wal Jamaah itu beliau merumuskan dengan sabdanya:
ما انا عليه اليوم واصحابى
“apa yang aku brerada di atasnya,hari ini,bersama para sahabat ku”.
Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan pengikut setia pada al-Sunnah wa al-Jamaah, yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zamanya itu.

Sebagai suatu doktrin ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada jauh sebelum tumbuh sebagai “aliran” dan “gerakan”, bahkan teminologi atau istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu sudah dipakai sejak zaman Rosulullah s.a.w. dan para sahabatnya; hanya saja belum dipakai sebagai “nama aliran” atau gerakan kelompok tertentu. Hal yang memicu lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai aliran dan gerakan tertentu dari komunitas Islam adalah sebagai reaksi dan koreksi terhadap aliran dan gerakan lain di kalangan umat Islam yang mengancam kemapanan doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, terutama menguatnya pengaruh aliran dan gerakan Mu’tazilah pada zaman Abbasiyah, khususnya pada zaman Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), Al-Mu’tasim (218-228 H/833-842 M) dan Al-Watsiq (228-233 H/842-847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara yang dilindungi oleh pemerintah.
Dalam penyebaran faham Mu’tazilah itu, terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat Islam dan khususnya Mu’tazilah sendiri. Khalifah Al-Ma’mun dalam upayanya menanamkan pengaruh Mu’tazilah melakukan pemaksaan kepda seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga kepada seluruh masarakat Islam. Dalam pemaksaan faham Mu’tazilah itu, banyak ulama yang menjadi panutan masarakat menjadi korban penganiyayaan di antaranya adalah Imam Hambali ( ahmad bin Hambal), Muhammad bin Nuh, dan lain-lain lagi yang tidak mau mengubah pendiriannya untuk mengattakan bahwa “ Al-qur’an itu adalah mahluk” (seperti yang diyakini Mu’tazilah), maka mereka dipenjarakan dan dianiaya. Ketegaran dan ketegasan mereka dalam mempertahankan keyakinan/aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu mendapat simpati luas dari masarakat dan sekaligus menanamkan kebencian dan antipati terhadap Mu’tazilah dan kekuasaan pendukungnya.


Ketika Al-Mutawakkil (233-247 H/874-861 M) menjada khalifah Abbasiyah menggantikan Al-Watsiq dia melihat bahwa posisi sebagian khalifah perlu mendapat dukungan mayoritas dari masarakat. Sementara. Oleh sebab itu pada tahun 856 M, khalifah Al Mutawakkil membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara atau pemerintahan.

Bagi masarakat awam, sebenarnya sulit menerima doktrin mu’tazilah yang rasional-filosofis, mereka lebih suka ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana yang sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w dan tradisi para sahabatnya. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah tokoh intelektual dan ulam Islam Abul Hasan Al-Asy’ary wafat 324 H/935 M ) dengan ajara-ajaran aqidah (teologi) baru yang berusaha mengakomodasi aspirasi masarakat, dengan tetap berpegangan teguh pada sunnah nabi s.a.w serta tradisi para sahabatnya. Ajaran atau doktrin teologi al-Asy’ary ini kemudian di kembangkan secara dinamik oleh murid-murid dan ulama-ulam pengikutnya, seperti: Abu Hasan Al Bahili, muhammad Al Baqillani, Abdul Maali Al Juwaini (Imam haramain), Abu Hamid Muhammad Al Ghozali, Muhammad bin Yusuf As Sanusi, dan lain-lain. Dan disamarkand, muncul tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah yang lain yakni Abu Manshur Al Maturidi (wafat333 H/ 944 M) kemudian ajaran teologinya di kenal Al Maturidiyah. Di Bukhara, aliran Mturidiyah dikembangkan oleh Ali Muhammad Al Basdawi. Meskipun pendukung Asy’ariyah maupun Maturidiyah, secara metodologi mengikuti imamnya, tetapi dalam fatwa-fatwa qauliyah tidak seluruhnya sama; disana terjadi dinamika konsepsi sejalan dengan realita dan penemuam-penemuan baru yang dihadapi. Dan dari kajian khazanah keilmuan dan data-data kesejarahan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk mempelajari ahlussyunnah Wal Jama’ah secara utuh, perlu beberapa macam pendekatan, setidak tidaknya adalah pendekatan doktrinal (mengkaji dari sisi ajaran yang di pandang baku), historis (aspek kesejarahan yang mempengaruhi perkembangan Ahlussunnah Wal Jamaah selama ini), dan kultural (pengaruh budaya dan tradisi yang mendukung maupun menentang Ahlussunnah Wal Jama’ah) itu sendiri.

B.Peranan para Sahabat
Para sahabat, generasi yang hidup se-zaman dengan Rasulullah saw. adalah generasi yang paling menghayati as-Sunnah wal Jamaah. Mereka dapat menerima langsung ajaran agama dari tangan pertama. Kalau ada yang belum jelas, dapat menanyakan langsung pula kepada Rasulullah saw. terutama al-Khulafa ar-Rosyidun sahabat Abu Bakar as-Shiddiq ra., sahabat Umar bin Khatab ra., sahabat Utsman bin Affan ra., dan Sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Memang para sahabat adalah manusia biasa yang tidak memiliki wewenang Tasyri’( تشر يع =membentu atau mengadakan hukum), Tetapi di dalam tathabiq (تطبيق = menerapkan prinsip-prinsip pada perumusan sikap dan pendapaat yang kongkrit), peranan mereka tidak dapat dikesampingkan karena hanya ada kritik atau koreksi dari seseorang atau kelompok orang manusia biasa pula yang jarak zamannya sedemikian jauh dengan zaman Rasulullah saw. dan kemampuan penghayatannya terhadap as-sunnah wal Jamaah sulit diyakini melebihi kemampuan para sahabat.
Rasulullah saw. bersabda:
عليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
“Haruslah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk”(Rw.Ahmad)

Nahdlatul Ulama berpendirian teguh, bahwa al-Mahdiyyin (yang mendapat petunjuk) adalah sifat menerangkan kenyataan bukan sifat yang merupakan syarat yang membatasi. Artinya, memang semua Khulafa al-Rasyidin itu, tanpa diragukan lagi adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, bukan orang-orang yang sebagian mendapat petunjuk dan sebagian tidak. المهديين adalah sifat kata الخلفاء bukan sifat kata : سنة . Bahkan, jumhur ulama berpendapat bahwa para sahabat Rasulullah saw. adalah para tokoh yang diyakini kejujurannya di dalam masalah penyampaian ajaran agama. Keragu-raguan terhadap kejujuran para sahabat merupakan salah satu bahaya bagi kemantapan saluran ajaran agama, apa alagi terhadap Khulafa ar-Rosyidin al-Mahdiyyin. Keragu-raguan tersebut akan mengacaukan, mengaburkan dan mengeruhkan jalur-jalur yang harus ditelusuri sampai kepada as-Sunnah dan al-Qur’an.
Para sahabat yang mendengar ucapan, melihat perbuatan dan menghayati sikap (taqrir) Rasulullah saw. kemudian ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah saw itu dikumpulkan, dicatat dan dikodifikasikan. Para sahabat pula yang mendengar dan mencatat Rasulullah saw., membaca ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi mushaf yang sampai sekarang kita yakini sebagai mushaf al-Qur’an yang otentik.

Selain dalil-dalil qauli (bersifat ucapan) yang memberi kesaksian Rasulullah saw. atas kemampuan penghayatan para sahabat terhadap apa yang diajarkan oleh beliau, terdapat pula dalil-dalil yang sekaligus qauli dan fi’li (bersifat perbuatan tindakan). Beliau merestui beberapa sahabat melakukan ijtihad (mengerahkan daya pikir untuk mendapat kesimpulan pendapat berdasarkan atas pemahaman dan peghayatan terhadap nash al-Qur’an dan al-Hadits). Yang paling terkenal ialah ketika Rasulullah saw. mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ke Yaman. Atas pertanyaan Rasulullah saw., sahabat Mu’adz ra memberi jawaban yang dapat dirumuskan :
1.Kalau sesuatu masalah ada dalilnya yang jelas didalam al-Qur’an, maka keputusan hukum diambil berdasarkan al-Qur’an
2.Kalau tidak terdapat dalam al-Qur’an dan terdapat didalam as-Sunnah, maka diambil berdasarkan as-Sunnah
3.Kalau tidak terdapat dalil yang jelas didalam al-Qur’an dan juga tidak terdapat didalam as-Sunnah, maka keputusan hukum diambil berdasarkan ijtihad (hasil daya pikir).

Pasti dapat diyakinkan oleh setiap pemeluk Islam, bahwa para sahabat bukanlah sekelompok orang yang dibina oleh Rasulullah saw. hanya untuk diri mereka sendiri tanpa berkelanjutan peranannya. Pasti para sahabat adalah generasi pertama kaum muslimin mengemban tugas melanjutkan missi dan perjuangan Rasulullah saw. mengembangkan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok dunia kepada segenap umat manusia.
Allah berfirman:
وماارسلناك الا كافة للناس بشيرا ونذيرا ولكن اكثر الناس لا يعلمون.
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti”. (Q.S. As-Saba, 28) Pasti para sahabat adalah pembawa cahaya Islam yang diterima dari Rasulullah saw. kepada generasi-generasi sesudahnya.
Rasulullah saw bersabda :
اصحابى كالنجوم بايهم اقتديتم اهدينتم
“para sahabatku adalag ibarat bintang-bintang . dengan siapapun diantara mereka kamu sekalian ikut, maka kamu akan mendapat petunjuk”.
Para sahabat, pasti bukan sekedar pembawa rekaman ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah saja, tetapi sekaligus adalah juga pembawa pentauladanan, penjelasan dan pendapat mengenai arti ayat al-Qur’an dan al-Hadits itu sesuai dengan penghayatannya.

C.Generasi sesudah Sahabat
Sesudah generasi sahabat, tugas melanjutkan missi dan perjuangan Rasulullah SAW. diterima oleh generasi baru yang disebut tabi’in (تابعين = para pengikut). Selanjutnya ganti berganti, berkesinambungan generasi demi generasi menerima missi dan perjuangan itu, para tabi’in, para Imam Mujtahidin, para Ulama Shalihin, dari zaman ke zaman.

Kalau pengumpulan dan penyusunan catatan-catatan ayat-ayat al-Qur’an sampai menjadi sebuah mush-haf yang otentik sudah terselesaikan pada zaman sahabat, maka pengumpulan Hadits baru dirintis dan dilakukan oleh para tabi’in. selanjutnya seleksi, kategorisasi, sistematisasinya digarap dan dirampungkan oleh generasi-generasi sesudahnya. Segala macam syarat, sarana dan metode untuk menyimpulkan pendapat yang benar dan murni dari al-Qur’an dan al-Hadits diciptakan dan dikembangkan. Mulai dari ilmu-ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharraf, Ma’ani, Badi’, dan Bayan sampai kepada ilmu mantiq (logika) dan filsafat, dirangkaikan dengan ilmu tafsir, ilmu Mushthalahul Hadits sampai kepada Ushul Fiqh dan al-Qowa’id al-Fiqhiyah. Semuanya dimaksudkan untuk dapat mencapai kemurnian ajaran a-Sunnah wal Jamaah.

Bukan hanya guna mendapatkan ilmunya untuk diamalkan sendiri, tetapi sekaligus juga segala ilmu yang didapat itu di siarkan, di da’wahkan dan lebih dari untuk diamalkan oleh sebanyak mungkin umat.
Mereka as-Sabiqunal Awwalun (السابقون الاولون = generasi terdahulu) itu bergerak kesegala penjuru dunia, dengan segala jerih payah, dengan penderitaan dan pengorbanan menyebarkan as-Sunnah wal Jamaah, Kaaffatan linnaas (كافة للناس = kepada seluruh umat manusia). Tidak terkecuali ke tanah air Indonesia ini. Para Muballighin, atas resiko sendiri tanpa dukungan dari kekuasaan politik dan tanpa dukungan dari kekuatan materil yang berarti membawa as-Sunnah wal Jamaah itu kemari. Dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap para Muballighin yang lain, tidaklah dapat dilewatkan menyebut jasa-jasa para wali Muballighin yang dikenal dengan istilah Wali Sanga, kelompok sembilan yang paling berkesan di dalam sejarah Islam di Indonesia.

D. Sistem dan Methode
Bagi para sahabat Rasulullah saw. yang hidup se zaman dengan beliau, tidaklah terlalu sulit mendapatkan kemurnian ajaran agama Islam, karena jarak waktu dan jarak fisik yang sangat dekat. Namun makin jauh jarak fisik dengan sumber pertama, maka menjadi sulit untuk mendapatkan kemurnian as-Sunnah wal Jamaah itu, terutama karena besarnya gangguan-gangguan yang membahayakan kemurnian tersebut.
Kecuali jauhnya jarak dan adanya gangguan-gangguan, kesulitan untuk mendapatkan as-Sunnah wal Jamaah itu menjadi lebih berat, karena al-Qur’an hanya mengandung hal-hal yang prinsip sedang al-Hadits, meskipun lebih terperinci isinya, tetapi disampaikan oleh Rasulullah saw. secara parsial (sebagian-sebagian) sehingga satu masalah saja (umpamanya cara melakukan shalat) mungkin beratus-ratus jumlah al-Hadits yang berhubungan dengan masalah shalat ini. Belum lagi, seleksi al-Hadits dan latar belakang sejarah disampaikannya oleh Rasulullah saw.
Oleh karenanya, tidak semua orang mampu memahami sendiri dan menyimpulkan pendapatnya mengenai sesuatu masalah langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, secara benar sehingga dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya. Dengan demikian diperlukan sistem yang dapat dipertanggung jawabkan, bagi seseorang yang perlu punya pendapat atau perlu melakukan sesuatu hal mengenai ajaran agama.

1.Bagi yang memenuhi syarat dan sarana untuk mengambil kesimpulan pendapat (istinbath = استنباط ) sendiri dapat menggunakan sistem ijtihad, yaitu beristinbath sendiri
2.Bagi yang tidak memenuhi syarat atau yang meragukan kemampuannya sendiri, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali mengikuti hasil ijtihad atau istinbath orang lain yang mampu, yang disebut dengan istilah sistem taqlid.
Memaksa semua orang beristinbath dan berijtihad sendiri, bukan saja tidak tepat tetapi juga sangat membahayakan kemurnian ajaran agama Islam, membahayakan as-Sunnah wal Jamaah. Rasulullah bersabda:
اذا وسد الامر الى غير اهله فانتظر الساعة
“Tatkala suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran saat perkara itu).”

E.Karakteristik

Karena as-Sunnah wal Jamaah itu tidak lain adalah ajaran agama Islam yang murni sebagaimana dianjurkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya, maka perwatakan (karakteristik) nya adalah juga karakteristik agama itu sendiri.

Karakteristik agama Islam yang paling esensial adalah:

1.Prinsip at-Tawassuth, jalan pertengahan, tidak tathorruf (ekstrem = تطرف ) kekanan-kananan atau kekiri-kirian.
2.Sasaran Rahmatan lil ‘alamin, menyebar rahmat kepada seluruh alam.


KARAKTER AT-TAWASSUTH WAL I’TIDAL

A.Pengertian at-Tawassuth

As-Sunnah wal Jamaah adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. dan diamalkan oleh beliau bersama para sahabatnya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa karakter as-Sunnah wal Jamaah serambutpun tidak bergeser dari karakter agama Islam sendiri. Karakteristik as-Sunnah wal Jamaah adalah karakteristik agama Islam.
Ada tiga kata istilah yang diambil dari al-Qur’an dalam menggambarkan karakteristik agama Islam, yaitu: at-Tawassuth = التوسط, al-I’tidal = الاعتدال, at-Tawazun = التوازن.
1.At-Tawassuth = التوسط yang berarti: pertengahan, diambil dari firman Allah swt. (dari kata wasathan = وسطا )
وكذلك جعلناكم امة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
“Dan demikianlah, kami telah menjadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengan ( adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia dan supaya Rasulullah saw. menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian…(QS. Al-Baqarah:143)

2. Al-I’tidal = الاعتدال berarti tegak lurus, tidak condong kekanan-kananan dan tidak condong kekiri-kirian, diambil dari kata al-Adlu العد ل) ) keadilan atau I’diluu (اعد لوا = bersikap adillah) pada ayat:
ياايهاالذين امنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنان قوم على ان لا تعدلوا. اعدلوا هو اقرب للتقوى واتقواالله. ان الله خبير بما تعملون.
“Hai orang-orang yang beriman kendaklah kamu sekalian menjadi orang yang tegak (membela kebenaran) karena Allah swt. Menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil (bil qisthi). Dan jangan sekali-kali kebencianmu kepada kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah itu Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 9)

3.At-Tawazun = التوازن, berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsur atau kekurangan unsur yang lain. Diambil dari kata al-waznu atau al-mizan alat penimbang dari ayat:
لقد ارسلنارسلنا بالبينات وانزلنامعهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط
“Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Mizan (penimbnagn keadilan)supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (al-qisth)…(QS. Al-Hadid : 25)
At-Tawassuth (termasuk al-I’tidal dan ast-Tawazun), bukanlah serba kompromistis dengan mencapur adukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan merngucilkan diri dari menolak pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter at-Tawassuth bagi Islam adalah memangs sejak semula Allah swt. Sudak meletakkan didalam Islam segala kebaikan,dan segala kebaikan itu pasti terdapat diantara ujung tatharruf, sifat mengujung, , ekstrimisma. Prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam ini harus diterapkan didalam segala bidang,supaya agama Islam dan sikap serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia umumnya.

B. Penerapan Prinsip dan Karakter at-Tawassuth

Manifestasi prinsip dan karakter at-Tawassuth ini tampak pada segala bidang ajaran agama Islam dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya, terutama oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah, pengikut setia as-Sunnah wal Jamaah.
Beberapa hal dikemukakan, sebagai pembuktian termanifestasikannya prinsip at-Tawassuth itu:
1.Pada bidang aqidah :
a.Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasional) dengan dalil naqli (nash al-Qur’an dan al-Hadits) dengan pengertian, bahwa dalil aqli dipergunakan dan ditempatkan dibawah dalil naqli.
b.Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah dari luar Islam.
c.Tidak tergesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas mereka yang karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan tauhid/ aqidahnya, semurni-murninya.
2.Pada bidang Syari’ah
a.Selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan menggunakan methode dan sistem yang dapat dipertanggung jawabkan dan melalui jalur-jalur yang wajar.
b.Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sharih dan qath’I (tegas dan pasti), tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.
c.Pada masalah yang dhanniyat (tidak tegas dan tidak pasti), dapat di toleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama.
3.Pada bidang Tashawwuf/ Akhlak
a.Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, denga riyadhoh dan mujahadah menurut kaifiyah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan ajaran Islam.
b.Mencegah ekstrimisme dan sikap berlebih-lebihan (al-Ghuluwwu) yang dapat menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syari’ah
c.Berpedoman bahwa ahlak yang luhur selalu berada diantara dua ujung sikap yang mengunjung, misalnya:
- Syaja’ah (الشجاعة ) berani adalah diantara Jubn (penakut) dan sembrono at-Tahawwur
- Tawadhu’ ( التواضع ) menempatkan diri secara tepat adalah diantara takabbur (sombong) dan tadzallul (rendah diri)
- Jud atau karom (الجود ـ الكرم ) luman, dan dermawan adalah diantara Bukhl (kikir) dan Israf (boros)
-
4.Pada bidang Mu’asyaroh (pergaulan) antar golongan:

a.Mengakui watak tabiat manusia yang selalu senang berkelompok dan bergolong-golong berdasarkan atas unsur pengikatnya masing-masing.
b.Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar saling mengerti dan saling menghormati
c.Permusuhan terhadap sesuatu golongan, hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang nyata memusuhi agama Islam dan Umat Islam. Terhadap yang tegas memusuhi Islam, tidak boleh ada sikap lain kecuali sikap tegas.
5. Pada bidang kehidupan Bernegara
a.Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya.
b.Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak meyeleweng, dan/atau memerintah kearah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.
c.Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tata cara yang sebaik-baiknya.

6.Pada bidang Kebudayaan

a.Kebudayaan, termasuk di dalamnya adat-istiadat, tata pakaian, kesenian dan sebagainya adalah hasil budi daya manusia yang harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar dan bagi pemeluk agama, kebudayaan harus dinilai dan diukur dengan norma-norma hukum dan ajaran agama.
b.Kebudayaan yang baik dalam arti menurut norma agama, dari manapun datangnya dapat diterima dan dikembangkan. Sebaliknya, yang tidak baik harus ditinggalkan. Yang lama yang baik dipelihara dan di kembangkan. Yang baru yang lebih baik dicari dan dimanfaatkan.
المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح
c.Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru atau sebaliknya selalu menerima yang baru dan menolak yang lama

7.Pada bidang Dakwah

a.berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk berbuat menciptakan keadaan yang lebih baik, terutama menurut ukuran ajaran agama. Tidak mungkin orang berhasil mengajak seseorang dengan cara yang tidak mengenakkan hati yang diajak. Berda’wah bukan menghukum.

b.Berdakwah harus dilakukan dengan sasaran tujuan yang jelas, tidak hanya sekedar mengajak berbuat saja, menurut selera.
c.Berdakwah harus dilaksanakan dengan keterangan yang jelas, dengan petunjuk-petunjuk yang baik, sebgaimana seorang dokter atau perawat berbuat terhadap pasien. Kalau terdapat kesulitan, maka kesulitan itu harus ditanggulangi dan diatasi dengan cara yang seb aik-baiknya.

Bahaya-bahaya bagi kemurnian ajaran ASWAJA

Banyak sekali dalam Ayat-ayat Al Qur’an, Allah SWT , memberikan jaminan, bahwa dia pasti memelihara agamanya. Namun jaminan itu tidaklah berarti bahwa agama Islam berkembang dan terpelihara tanpa rintangan ancaman, hambatan dan bahaya- bahaya terhadap kemurniannya dan kelangsungan perkembangannya. Juga tidak berarti, bahwa kaum muslimin tidak perlu berjuang memelihara kemurnian agamanya, tidak perlu bersusah payah mengembangkan agamanya. Rasulullah SAW diharuskan berjuang untuk mengembangkan agama itu dengan susah payah, dengan penderitaan, bahkan berkali-kali jiwanya terancam dan mendapat luka-luka pada waktu berdakwah dan pada waktu berperang. Rasulullah SAW harus memberikan pengorbanan segala galanya demi tugasnya mengemban dan mengembangkan agama Islam.
Pada jaman inipun, bahaya fisik bagi kaum muslimin yang harus dihadapi secara fisik pula masih terdapat di beberapa bagian dunia ini umpamanya di palestina. Beratus –ratus ribu kaum muslimin palestina harus mempertaruhkan jiwanya untuk dapat kembali dari kamp-kamp pengungsiannya ke negrinya, palestina. Mereka masih harus berjihad fisabilillah, bahkan ber-qital ( perang ) untuk pulang ke kampung halamannya, mendekati masjidil Aqsha.

Meskipun demikian, secara umum dan keseluruhan muslimin, terutama umat Islam Indonesia tidak lagi menghadapi bahaya fisik itu sebagai satu-satunya bahaya yang paling besar.

Sejak beberapa abad terakhir ini bahaya permanen yang selalu mengancam Islam, bahaya laten yang selalu muncul pada tiap kesempatan adalah serangan musuh Islam dalam wujud yang lain, yaitu serangan yang dilakukan oleh apa yang lazim disebut kaum orientalis.

Kaum orientalis ialah mereka, para cerdik cendikiawan yang tekun mempelajari masalah-masalah ketimuran terutama masalah Islam, tetapi sama sekali bukan untuk kepentingan Timur dan Islam. Bahkan sebaliknya, untuk menghancurkan timur dan Islam. Mereka belajar tentang Islam sedalam-dalamnya, belajar bahasa arab dan bahasa timur lainnya dengan segala kelengkapannya, dari sejarah, sosiologi, hukum dan adat istiadat Islam. Dari sudut keilmuan, mereka mungkin jauh lebih mengerti dari pada beberapa para sarjana Islam sendiri. Sayang maksudnya hanya satu: Menghancurkan Islam, sebagai kelanjutan dari perjuangan golongan mereka dalam perang salib. Secara fisik, perang salib memang sudah lama berakhir, tetapi secara ma’nawi ( politik, Ideologi dan kebudayaan ) berlangsung terus berabad-abad kemudian, sampai sekarang dan akan berlangsung seterusnya.

Medan perjuangan mereka mengancam kelangsungan dan kemurnian Islam sangat luas, tak terbatas. Senjata dan saluran perjuangan mereka, terutama adalah otak, pikiran dan imu, terutama ilmu tentang Islam dan keislaman. Dengan ilmu dan dengan saluran ilmu, mereka berusaha:

1.mengaburkan, kemudian mengoncangkan jalur agama Islam kedua, yaitu al-hadits. Mula-mula mereka membayang-bayangkan sesuatu yang pantas di ragukan, yaitu kemampuan seorang sahabat Abu hurairah ra., bagaimana seseorang mampu meriwayatkan Hadist sekian banyaknya. Dibayangkan pula keraguan terhadap kemampuan seorang imam Zuhri, bagaimana seseorang mampu mengumpulkan hadits yang bertebaran sedemikian rupa. Akhrinya mereka berusaha menggoncangkan keyakinan kaum muslimin akan adanya hadits-hadits yang shahih yang benar-benar dari Rasaulullah saw. Kalau kaum muslimin sudah “kehilangan hadits” karena semua hadits diragukan kebenaran dan keasliannya, maka berarti sudah kehilangan jalur utama kepada al-Quir’an.

2.menganjurkan penggunaan akal sebebas-bebasnya, karena Islam sendiripun menghargai akal dan pikiran. Mereka ingin menumbuhkan pendapat bahwa akal manusia cukup untuk mengatur segala-galanya. Sasaran terakhir mereka ialah supaya kaum muslimin lebih menampilkan akalnya dan mengesampingkan agamanya. Kalau sasaran ini sudah tercapai, maka dengan mudah mereka memompa otak kaum muslimin dengan teori-teori, paham-paham dan doktrin ciptaan mereka, antara lain:
i.Intelektualisme, yang pada pokoknya megajarkan bahwa dengan akal saja, manusia akan dapat mencapai segala hidupnya.
ii.Materialisme, yang pada pokoknya mengajarkan bahwa yang paling menentukan hidup manusia adalah benda.
iii.Sekularisme, yang pada pokoknya mengajarkan bahwa manusia harus dapat memisahkan masalah duniawi yang harus dijadikan urusan pokok dari masalah ukhrawi yang masih diragukan kebenarannya


Sudah tentu bahaya terhadap kelangsungan hidup dan kemurnian ajaran Islam tidak hanya datang dari orientalisme saja yang merupakan bahaya dari luar. bahaya yang ada dalam tubuh kaum muslimin sendiri, banyak juga meskipun sebagian berasal dari luar dan sudah lama berada di dalam, antara lain:

1.sikap memihak yang berlebih-lebihan kepada seseorang atau sekelompok orang, baik karena motif kekeluargaan atau kekuasaan atau motif lainnya, sehingga cenderung mencari dalih dan dalil untuk membenarkan sikap sendiri. Hal ini mulai tampak pada ahir masa khalifah Utsman bin Affan, pada zaman ke khalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib dan seterusnya dengan munculnya aliran Syi’ah dan Khawarij.
2.masukknya pengaruh filsafat Yunani yang memunculkan aliran Mu’tazilah dan sebagainya.
3.masih adanya sisa kepercayaan lama seperti Israiliyyat, Majusi, dan lain sebagainya. Sisa-sisa ini ditambah dan dikobarkan kembali dengan sengaja oleh unsur-unsur munafiqin. Di wilayah-wilayah baru yang didatangi oleh agama Islam, sisa-sisa kepercayaan lama ini pun merupakan sesuatu yang membahayakan kemurnian ajaran Islam. Tidak terkecuali di Indonesia.
4.Sikap “menentang yang lama” secara berlebih-lebih sehingga tergelincir oleh sikap “serba anti yang lama”. Anti madzah, anti taqlid anti ziarah kubur dan lain sebagainya.

Segala kelemahan yang ada di dalam tubuh kaum muslimin itu sendiri itidak satupun yang terlepas dari perhatian kaum Orientalis untuk dipergunakan sebagai jalur penyalur usahanya mengeruhkan kemurnian Islam meskipun demikian, senjata ilmu yang mereka gunakan itu ahirnya mulai tampak menjadi “senjata makan tuan” ketekunan mereka mempelajari ilmu keislaman telah menjalar, menjadikan jumlah peminat itu semakin banyak. Di antara mereka yang tekun mempelajari ilmun keislaman ini tidak sedikit yang kemudian benar-benar menerima Islam sebagai satu kebenaran yang harus diikuti. Islam mulai berkembang di kalangan para sarjana itu terbuktilah kebenaran janji Allah SWT. Dalam firmannya :
يريدون ان يطفئوا نور الله بافواههم ويابى الله الا ان يتم نوره ولو كره الكافرون
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka dan Allah tidak berkenan kecuali menyempurnakan Cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak suka”. (QS. At-Taubah :32).


AKTUALISASI AJARAN AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH

Untuk dapat memahami dan apalagi mengaktualisasikan Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan individu maupun masyarakat muslim, tentunya tidak hanya didekati melalui doktrinnya saja. Sedikitnya ada tiga macam pendekataan utuk memahami dan mengaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jama’ah ini.
Pertama : pendekatan doktrnial, yakni memahami dan mengaaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jamaah dengan memahami duktrin-doktrin dan ajaran-ajaran yang dirumuskan dalam kitab-kitab ilmu kalam sunni, maupun melalui diskusi-diskusi dan pengajian formal atau non formal mulai dari konsep keimanaan kepada Tuhan, sampai masalah kedudukan manusia terhadap karyanya, dan masalah-masalah ghaibiyah.
Kedua : pendekatan historis, yakni menulusuri perkembangan kesejarahan; mengapa sikap-sikap ahlus sunnah waal Jama’ah menjadi tegar dalam , mensupremasikan dalil-dalil naqli dari pada dalil-dalil aqli, mengapa Ahlussunnah Wal Jamaa’ah mempertahankan sikap tawasuth dan tasamuh, dan mengapa Ahlussunnah Wal jamaa’ah selalu berusaha mencari konsensus dalam mewujudkan kemaslahatan umat selama tidak melanggar batasan syara’ ? sebagai contoh, ahlussunnah Wal Jamaah berusaha mempertemukan titik temu antara perbedaan yang terjadi diantara para sahabat dan ulama. Abdul Malik bin Marwan, seorang kholifah Umawiyah, setelah terjadai konflik dengan keluarga Sd. Ali bin Abi Thalib r.a., masih berusaha meaklukan konsiliasi dalam masyarakat Islam. Slogan al-jama’ah dipopulerkan dimana-mana:
نَحْنُ جَمَاعَةٌ وَاحِدَةٌ تَحْتَ رَايَةِ اللهِ
“Kita adalah satu jama’ah dibawah naungan panji-panji agama Allah”.
Abdul Malik bin Marwan juga berusaha mengurangi perpecahan umat, antara lain dengan konsep “Tarbi” yaitu menyebut empat nama sahabat besar berurutan (Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radiyullahu anhu ) ebagai paket penghormatankepada mereka. Lahirnya “Tarbi” ini merupakan produk kesejarahan, bukan bersumber dari doktrin atau dogma semata.
Sikap mencari konsensus untuk persatuan dam kemaslahatan umat ini ditampilkan lagi oleh kholifah Uman bun Abdul Aziz; yang memerintahkan penghapusan kalimat yang berbau kritikan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalip r.a dari semua khutbah dan menggantikannya dengan bagian ayat Al-Quran yang memberi arti sangat akomodatif dan integratif, yaitu:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلِإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى اْلقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلكُمْ تَذَكَّرُوْنََ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada keluarga dekat / kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mrngambil pelajaran”.

Masih banyak lagi yang masih dapat kita ambil dari khazanah kesejarahan. Seperti peran pengembangan Ahlussunahwal Jamaa’ah melalui intrumen birokratis, yang pernah dilakukan oleh Salahuddin Al Ayyubi, Nizhomil muluk dan lain sebagainya; yang semuanya memberikan inspirasi kepada kita, bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah mempunyai kaitan kesejarahan dengan peran kaum birokratis, dan fenomena seperti itu dapat di lakukan kapan saja.
K
etiga pendekatan kultural, yakni usaha mengembangkan nilai-nilai dan sikap kemasarakatan yang diberikan oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kita tahu betapa banyakknya perbedaan pendapat antara imam-imam madzab, khususya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali; tetapi perbedaan itu tidak menjadikan mereka saling bermusuhan. Imam Safi’i sendiri pernah tidak membaca Qunut waktu sembahyang shubuh, pada saat beliau ada di madinah demi menghormati kepada imam malik yang diakui sebagai gurunya. Imam Ahmad bin Hambal dalam waktu yang cukup lama mendoakan secara khusus kepada iman Safi’i sebagai penghormatan jasa-jasa keilmuannya.
Sikap keagamaan yang mengutamakan dalil-dalil naqliah dari pada dalil-dalil aqliah, memberikan pelajaran kepada kita bahwa yang mutlak benar adalah wahyu, baik yang berupa Al-Qur’an maupun as-sunnah, sedang yang dari ijtihad manusiawi tetap hanya memiliki kebenaran nisbi saja, masih mungkin mengandung kekurangan-tepatan, baik karena perubahan waktu maupun situasi sosial.

Sifat menerima hidup dalam kemajmukan merupakan nilai sosial yang patut dikembangkan, terutama bagi masarakat pluralistik di indonesia ini. Keangkuhan sosial bagai manapun akan banyak menimbulkan kemadlaratan.
Sikap keilmuan yang terbuka seperti yang di kemukakan Al-Ghozali merupakan sikap ilmiah yang patut di lestarikan, dimana keilmuan ( baik yang syar’iyah maupun yang ghoiru syar’iyah ) dapat di kembangkan bersama-samauntuk kemaslahatan umat.
Dengan memahami Ahlissunnah Wal Jama’ah melalui beberapa pendekatan tersebut, diharapkan lebih operatif dalam mengembangkan kualitas umat Islam, dan bukan sekedar doktrin-doktrin yang normatif yang tidak jelas bagaimana cara menerapkannya.



PERANAN PENDIDIKAN (PONDOK PESANTREN) DALAM MELESTARIKAN NILAI-NILAI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (MELALUI KAJIAN METODOLOGI)

Sampai pada awal pemerintahan bani salju, yakni pada masa tugril Beq dan perdana meterianya yang benama Abu Nasr bin Mansur Al Kundari (416-456 H), tekanan-tekanan terhadap golongan dan gerakan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah masih sangat kuat, bahkan ajaran dan tokoh tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah mendapat cacian dan kutukan mimbar-mimbar jumaat dan ceramah-ceramah di Masji-Masjid. Bahkan Al Kundari pernah memerintahkan penangkapan terhadap tokoh\tokoh dan ulama-ulama Al Asariyah. Diantara yang pernah dipenjarakan adalah Abu Abdul Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi dengan ddemikian penyebaran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum dan As-Sy’ariyah secara khusus mengalami hambatan.

Tekanan dan intimedasi terhadap gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah \dan pengembangan ajaran-ajarannya berakhir, setelah terjadi pergantian kekuasaan dari Tugril Beg ke Alp Arsalan dengan perdana menterinya yang masyhur, yakni; Mizhomul Mulk (1063-1092 M) yang dengan setia mendukung faham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Aliran As-Asy’ariyah mengalami kemajuan pesat bahkan mampu mendominasi pemikiran dunia Islam melalui “Madrasah Nizhomiyah” yang didirikan Nizhomul Mulk madrasah ini mempunyai cabang hampir di seluruh kota penting dalam wilayah kekuasaan Saljukiyah. Semua sekolah-sekolah Nizhomiyah menerapkan kurikulum yang sarat ajaran-ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Imam Al-Ghozali pernah memimpin lembaga Nizhomiyah ini,dan berkesempatan luas untuk mewarnai Nizhomiyah dengan faham As-Asy’ariyah.

Di Mesir dan Suriah teologi Asy’ariyh ini juga berkembang dengan dukungan pemerintahna salahuddin Al-Ayyubi, pendirian dinasti Ayyubiyah, setelah menghapuskan ajaran syi’ah dari pusat pendidikan Al-Azhar dan sekolah-sekolah di Mesir dan Suriah lainnya sebagai warisan dinasti Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya, Dan selanjutnya sistem dan kurikulum Al-Azhar sebagai pusat pengembangan keilmuan dan peradaban Islam bercitra Sunni Sampai selkarang.
Perkembangan aliran As-Asy’ariyah dibelahan dunia timur ( India, Pakistan, Afganistan sampai ke Indonesia) berkat dukungan Muhammad Al-Gazwani ( 971-1030 M), Sultan ketiga dinasti gaswaniyah. Pada mulanya mahmud Al-Ghazwani menganut madzhab Hanafi, tetapi kemudian beralih ke madzhab Syafi’i. Jasa Gazwani dalam penyebaran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah antara lain dengan :

Pertama, memprakarsai penulisan kitab –kitab keislaman yang bermuatan ajaran Sunni.
Kedua, membangun madrasah-madrasah besar sebagai pusat pengajaran.
Ketiga, membentuk Majlis-majlis keilmuan dan keagamaaan yang diikuti oleh para ulama’ dan cendekiawan.
Keempat, mengirim ulama’ dan muballigh-muballigh untuk menyebarkan ajaran sunni sekaligus menghadapi gerakan-gerakan lain yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Khusus di Indonesia pemikiran-pemikiran Al-Asy’ariyah dikenal luas melalui kitab-kitab karya al-Ghazali dan As-Sanusi. Pengaruh As-Sanusi di Indonesia populer dengan konsep teologinya terhadap sifat Allah dan rasulnya yaitu sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz.,tentang sifat-sifat wajib yang 20 (dua puluh), sifat mustahil 20 (Dua puluh), dan sifat Jaiznya hanya satu (1) bagi Allah Juga pengelompokan sifat-sifat Allah dalam tiga bagian, yakni sifat “Nafsiyah”(kedirian Allah), sifat “salbiyah” (sifat yang membedakan zdat Allah dengan lainnya) dan sifat “ Ma’ani” (sifat yang Abstrak). Disamping itu juag konsep sifat rasul, yakni sifat wajib empat(4) sifat mustahil empat(4) dan sifat jaiz satu (1). Konsep-konsep akidah ( teologis) tersebut begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat luas, baik melalui pengajian, karya-karya tulis, maupun kurikulum sekolah atau madrasyah.
Di Spayol ( andalusia) dan afrika utara, peranan Ibnu Tumart sangat besar. Dia yang memerintahkan Agar karya-karya Al-Asy’ari dan Al-Ghozali dihidupkan kembali, yang sebelumnya dilarang bahkan dibakar oleh penguasa dinasti murabithin. Penyebaran gerakan Al-Asy’ariyah menjadi lebih kuat setelah Ibnu Tumart berhasil membangun kekuasaan politik di Afrika dan Andalusia pada tahun 1114M yang diberi nama daulat “Al-muwahhidun”, kekuasaan ini berlangsung sekitar satu abad (515-667 H / 1121-1269 M). Pada zaman dinasti muwahidun inilah hidup ulama’-ulama’ dan cendikiawan besar sunni, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Mulkun,Ibnu Zur dan sampai sekarang kawasan itu seperti maroko, Al-Jazair tunisia dan Libia masih menjadi wilayah-wilayah sunni yang sangat kuat kecuali spayol(andalusia) yang berubah menjadi kristen lagi. Pusat-pusat pendidikan disana sampai sekarang masih merupaka pusat pengembangan dan pengajian Islam sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah).

PEMBUDAYAAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH MELALUI PENDIDIKAN PESANTREN/ SEKOLAH

Sebagaimana dikemukakan pada bagian kedua (peran pendidikan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah) bahwa pendidikan telah berperan banyak dalam penyebaran dan pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini, bukan hanya dalam pemahaman tetapi juga dalam pengamalan. Kita dapat menyaksikan, banyak langgar-langgar atau surau-surau, masjid-masjid membiasakan jama’ahnya melakukan “pujian” dengan membaca : “Wujud,Qidam,Baqa’,Muhafatul lil hawaditsi,Qiyamuhu binafsihi, wahdaniyat,Qudrad,Iradat,....dan seterusnya”, suatu model pembudayaan melalui pendidikan klasik dinegara kita. Tetapi tradisi semacam itu sekarang mulai terasa langka. Dipondok-pondok pesantren dulu, dianjurkan “Riyadloh”(tirakat). Melek wengi”(tidak tidur waktu malam) “ tahajjud” Wiridan “ dan lain-lain. Sebagai pengamalan penghayatan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan,bahwa “ilmu’itu sumbernya adalah Allah, yang dapat diberikan kepada manusia mulai dua jalur usaha, yakni dengan ‘Ta’allum” (belajar) dan”Takarrub” (mendekatkan diri kepada Allah). Sekarang ini, masalah internaliasasi nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah macam itu sudah kurang sekali. Dilain sisi pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah secara ilmiah kurang memadai, antara lain karena :

Pertama: pemahaman tentang Ahlussunnah wal jama’ah kurang proporsional ( Fi ghori maudi ihi), Ada kecenderungan penyempitan pemahaman dan wawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti pertanyaan : “yang tidak qunut dalam shalat subuh, itu bukan Ahlussunnah ...”, atau “yang tidak mau manaqiban itu bukan Ahlussunnah...”, cara-cara semacam itu akan mengkerdilkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah secara ilmiah, sebab di dalam buku-buku atau kitab-kitab yang mu’tabarpun tidak pernah masalah qunut itu menjadi ukuran/para meter Ahlussunnah Wal jama’ah. Di kalangan Madzahibul Arba’ah yang melakukan “qunut’ saat melaksanakan shalat subuh hanya madzhab Syafi’i, sedangkan Hanafi, Maliki dan Hambali tidak melakukannya. Apakah berarti mereka bukan termasuk golongan Ahlussunnah?.

Kedua; Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah, umumnya disusun hanya dengan pendekatan”Doktrinal” yang Normatif, tanpa mengembangkan wawasan sesajarahan. Misalnya, tentang konsep Al-Juaini yang mengharuskan “ Ta’wil” terhadap semua ayat yang memberikan gambaran tentang Allah secara “jasmani” sepert muka (wajah),tangan(yad), mata (ainun), duduk (Istawa) dan lain-lain padahal Al-Assy’ari sendiri tidak melakukannya. Semua itu menunjukkan bahkan bahwa Doktrin Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini cukup dinamis dan kedinamisan itu tidak lepas dari pengaruh sosiohistoriknya.
Ketiga: kalau dahulu mulai zaman Al-Asy’ari dan Al-maturidi juga pada zaman generasi selanjutnya. Masalah Aqidah dan prinsip-prinsip teologi Ahlussunnah Wal-jama’ah , selalu dikembangkan melalui metode diologis, memberi peluang untuk bertukar pikiran, mengadu argumen dan bersifat terbuka. Sekarang ini kerapkali kita gunakan pendekatan yang sebaliknya guru banyak bersikap otoriter, serba memaksakan, tidak banyak memberi peluang dialog tidak memberikan penjelasan yang memuaskan, malah menimbulkan rasa penasaran pada peserta didiknya.

Hal demikian itu mungkin terjadi karena beberapa, seperti;
a.Keterbatasan pengajar dalam menguasai subtansi materi yang diberikan.
b.Keterbatasan wawasan dalam masalah diajarkan, sehingga media dialog sulit dikembangkan.
c.Kelemahan metodologi.
Akhirnya terasa sekali perlunya kajian-kajian Ahlussunnah Wal-jama’ah yang lebih Intensif, baik secara Doktrinal, Historis, maupun Kultural. Dan untuk itu semua kami kira perlu upaya mengembangkan “laboratorium Ahlussunnah Wal-jama’ah”, yang bekerja untuk jangka panjang dengan intesitas kajian yang utuh.



2 comments:

Riy ElMadny said...

terima kasih..
sangat membantu :)

SD Negeri Karangtawang 01 said...

Sama2,,Terima Kasih Dah berkenan Mampir

Post a Comment

Apa Yang Kamu Lihat Adalah Apa Yang Kamu Renungkan,Dan Hanya Orang Ganteng dan Cantik Yang Mau Baca Blog ini

 
Design by Wordpress Theme | Modified Template by Darmanto