Artikel Terpopuler

Cerpen

Sunday, July 1, 2012

Fikih Islam Dalam Dinamika Sosio-Kultural

Fikih sebagai genre ilmu dalam kajian Islam menempati peran yang sangat signifikan, memandang fikih sebagai operasional normatif mempunyai andil penting dalam membentuk sosio-kultural masyarakat Islam semenjak masa keemasannya. Kita dapat melihatnya dalam historitas terkontruksinya masyarakat Islam yang teratur secara syar'i, baik secara ekonomi, social, cultural, dan politik—walau dalam perkembangannya terpengaruh factor eksternal yang nantinya menimbulkan banyaknya persepsi dalam sikap politik masyarakat muslim waktu itu. Keteraturan kontruksi social masyarakat Islam yang berdasarkan syari'at (Al-Qur'an dan Sunnah) yang belum pernah terwujud di belahan dunia manapun, secara substansial dibangun oleh tata nilai dan norma hukum yang nanti dalam perkembangannya disebut fikih.

Kemudian dalam perekembangannya, ilmu yang membahas tentang hukum atau qonun yang mempunyai relasi mengikat dengan aktivitas praktikal manusia ini menempati peran penting pada akhir abad ke-2 Hijriyah. Sebelumnya fikih terakomodir dalam bentuk fatwa-fatwa shahabat dan tabi'in dalam menyikapi permasalahan dan peristiwa yang menuntut solusi. Kemudian pada pertengahan kurun ke-2 Hijriyyah, fikih berkembang dengan munculnya para ahli-ahli fikih tabi' tabi'in, yang mana termasuk dari mereka adalah imam-imam mujtahidin(A'immatul Mujtahidin), yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Selanjutnya para imam mujtahid ini menyusun metode penggalian hukum dari nash-nash yang terdapat pada Al-Qur'an dan Hadist, dengan kecenderungan dan tempaan social atau latar belakang perbedaan prespektif yang mereka hadapi. Sebagai contoh, penggunaan metode istihsan oleh kalangan Hanafiyyah, yang mana Syafi'iyyah awal menolak penggunaan metode ini. Atau 'Maslahah Mursalah' yang diaplikasikan oleh madzhab Malikiyyah, yang mana metode ini tidak semua kalangan penganut madzhab menggunakannya.

Selanjutnya fiqih sendiri dalam Islam adalah keharusan yang tidak bisa ditawar, atau bisa dikatakan harga mati. Hal ini memandang peran fikih yang mengatur tata hidup manusia, sehingga hidup yang dijalaninya selaras dengan apa yang telah digariskan oleh syari'at, tidak melenceng, dan memandang perlu adanya norma-norma kehidupan yang mengusung konsep jalbul masholih dan dar'ul mafasid, sehingga human-relation-nya manusia dapat tertata tanpa manimbulkan kerugian terhadap pihak manapun.
Awalnya, sebelum menjadi genre tersendiri dalam kajian Islam, terutama kajian hukum dalam islam, fikih (dalam pengertian) hanyalah keputusan hukum para shahabat yang diadopsi langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah atau keputusan hukum yang disarikan dari sumbernya, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah dengan memandang maslahah yang ada, yang mana belum mudawwan (terbukukan). Hukum-hukum yang di-istinbathkan oleh para fuqoha shahabat, seperti Abdulloh ibn Abbas, Sayyidatina 'Aisyah, Umar ibn Khotob dan shahabat yang lain, lahir dari adanya dialektika antara realita social, ekonomi, budaya dan politik dengan tuntutan adanya hukum-hukum yang membatasi agar tujuan legislasi dalam islam tetap terjaga; yaitu maslahah 'ammah (kemaslahatan umum).
Sebagai contoh pembukuan administrasi Negara pada masa kholifah Umar ibn Khotob. Kholifah Umar dalam hal ini mempunyai prespektif perlunya pembukuan adminstrasi Negara yang rapih agar income dan pembelenjaan Negara tidak terjadi devaluasi, sehingga kemaslahatan umum—dalam hal ini Negara—tetap terjamin tanpa menimbulkan efek dalam prespektif syar'i.
Contoh lain, penyeragaman bacaan Al-Qur'an pada masa kholifah Utsman ibn Affan. Dalam hal ini juga, beliau mempunyai tendensi yang mana juga disetujui oleh para pembesar-pembesar shahabat. Dalam pandangannya, perlu adanya penyeragaman bacaan Al-Qur'an, karena kekhawatiran adanya tahrif dan maksud inti dari Al-Qur'an. Penyeragaman ini disebabkan beberapa factor, di antaranya: wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas, hingga banyak para shahabat yang menetap di daerah kekuasaan Islam di luar semenanjung Arab serta terkontaminasi bahasa dalam proses aviliasi dengan masyarakat setempat hingga menyebabkan logat yang mereka gunakan dalam melafalkan Al-Qur'an mengalami perubahan bacaan.

Namun yang ironis dan menjadi problem tersendiri bagi umat Islam, adalah sikap acuh tak acuhnya terhadap fiqih—yang notabene adalah norma-norma yang disarikan dari Al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan tak sedikit pula yang bersikap konfrontatif, dan mengatakan bahwa fiqih dalam kehidupan modern sudah tidak relevan, fiqih hanyalah akan memasung gerak pemikiran umat muslim modern menjadi stagnan dan jumud.
Ada juga yang mendakwakan adanya rekontruksi syari'at dan fikih dan perlu adanya penafsiran ualang terhadap syari'at, karena interpretasi yang pernah diproduksi oleh ulama salaf tidak merefleksikan kekinian yang merupakan sebuah keniscayaan. Dalam pandangan mereka, interpretasi yang ada tidak bisa diaktualisasikan sebagai interpretasi yang relevan dengan kehidupan modern. Karena interpretasi yang dibutuhkan hadir dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Sebenarnya perlu diapresiasikan positif, namun yang disayangkan adalah system metodis yang digunakan bukanlah metode yang sudah menjadi consensus ulama selama berabad-abad, yang juga merpakan turots (warisan kekayaan) dari metode yang pernah diaplikasikan para shahabat yang notabene bersumber dari Nabi. Mereka dalam menafsirkan teks malah menggunakan metode filsafat barat yang spekulatif dan masih mengalami progresifitas yang masih menjadi diskursus.

Kita lihat saja konsep interpretasi yang mereka tawarkan, yaitu hermeneutika. Hermeneutika adalah metode interpretasi yang pernah digunakan untuk menafsirkan Bibel ketika dihadapakan dengan kekinian, hingga akhirnya Bibel terombang-ambing dalam skeptisisme obyektif, di samping teks Bibel yang problematic. Hermeneutika sendiri mempunyai corak tersendiri dalam pandangan setiap filsuf. Schleiermacher misalnya, seorang teolog asal Jerman yang pertama kali menggunakan metode ini guna menafsirkan Bibel. Dia berpandangan bahwa hermeneutika disetarakan dengan exegesis sebagaimana tafsir dan ilmu tafsir. Atau Carl Barten yang mengatakan bahwa hermeneutika adalah suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata, atau teks kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dipahami dan dimengerti serta menajdi lebih bermakna secara eksistensial dalam situasi kekinian. Lain halnya dengan Gadamer yang mana dia berpendapat bahawa dalam hermeneutika, si penafsir melakukan interaksi dengan teks sebagai sebuah dialektika, hingga setiap jawaban adalah relatife dan tentatife kebenarannya. Atau metode dekontruksi yang pernah dikembangkan oleh Arkoun guna menafsirkan Al-Qur'an atau teks-teks Islam lainnya. Metode ini mendestruksi kemapanan teks guna dimungkinkan kehadirannya dalam kekinian beserta segala aspek yang melingkupinya. Apabila teks tersebut masih relevan dihadirkan dalam kekinian dan sesuai dengan realita social (dalam harapan penafsir), yang tentunya subyektif dan relative, maka teks tersebut dianggap mempunyai relevanitas. Namun ketika teks tersebut setelah didekontruksi ternyata hasilnya mentah, maka mau tidak mau dibiarkan berlalu bersama waktunya.
Ketika yang terjadi adalah fenomena yang dianggap sebagai progresifitas pembacaan terhadap teks ini, terus dikembangkan, lalu di mana warisan kekayaan Islam sendiri berperan? Bukankah sebuah ironi?
Sebenarnya kalau kita mau menlik lebih jauh, esensinya bukan demikian. Selama ini, kalau kita menilik literature fiqih atau cabang ilmu syari'at yang lain mencerminkan dinamika yang mengagumkan. Para penulis-penulis semenjak awal perkembangan fiqih membukukan dinamika fiqih dalam realita social masyarakatnya. Kitab Majmu' karya Imam Nawawi misalnya. Dalam kitab tersebut Imam Nawawi menuangkan hasil tarjih dan fatwa-fatwanya berkaitan dengan realita yang selalu berubah. Dalam kitabnya yang lain "Fatawi Imam Nawawi", juga Imam Nawawi memberikan solusi hokum berkaitan dengan kejadian dan peristiwa pada masanya. Sebagai contoh permasalahan Khoroj (pajak bumi). Dalam hal ini ketika si wajib pajak mempunyai kewajiban membayar zakat dan khoroj, maka kedua-duanya harus di bayarkan, karena dalam pandangan Imam Nawawi obyeknya sudah berbeda. Khoroj obyeknya adalah tanahnya sedangkan sepersepuluh dari wajib zakat adalah hasil panen tanaman.
Atau kita juga dapat melihat kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Ba'alawy Al-Hadromy yang terhitung sebagai ulama muta'akhirin. Dalam kitab ini beliau meredaksikan hasil-hasil istinbat para ulama tentang problem yang dihadapi umat Islam dalam konteksnya. Tentang masalah ada kewajiban atau tidak taat pada imam (pemimpin Negara) dalam hal yang sesuai dengan syari'at atau tidak sesuai, misalnya. Dalam hal ini beliau menjelaskan perbedaan pandangan para ulama tentang wilayah yang harus dita'ati oleh rakyat atas perintah imamnya. Contoh-contoh diatas masih dalam kisaran syafi'iyyah. Kalau kita juga mau melihat dan meneliti lebih lanjut dalam madzhab-madzhab selain syafi'iyyah kita dapat melihat dinamika fiqih dalam realita sosio-cultural dengan progresifitasnya.
Dalam tulisan ini kami hanya ingin memaknai dan mengapresiasi revivalitas 'fiqih Islam' dalam laju perkembangan realita yang selalu menuntut solusi. Dalam tulisan ini kami saajikan analisis histories dari perkembangan fiqih sebagai pijakan dalam memahami realita yang sedang berkembang. Namun sebelumnya kami ungkap terlebih dahulu substansi fiqih dalam kajian ilmu hokum Islam dan implementasinya ketika berhadapan dengan realita atau menyikapi sebuah kejadian atau kasus. Selanjutnya kami ungkap melalui analisa pustka metode-metode yang digunakan fuqoha dalam merumuskan hokum, meliputi ushul sebagai metode istinbath, maqosi Al-Syar'iyyah sebagai acuan perumusan serta kaidah Fiqhiyyah sebagai metode generalisasi furu'-furu' yang ada. Lalu dalam bab selanjutnya, kami berikan contoh dinamisasi fiqih dari segala aspek yang melingkupinya; mulai dari aspek social, ekonomi badaya dan politik, sekedar menunjukkan (dalam tataran analisis kami), bagaimana fiqih Islam menunjukkan ke-relevan-nya dalam kekinian yang dimaknai modern.
Walau dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki fiqih sendiri tidak seberapa, namun penulis berharap apa yang dituliskan dalam buku analisis ini dapat memberikan sumbangan intelektualitas (walau tak seberapa). Harapan kami, semoga bermanfaat. Amin.



Substansi Fikih

Sejatinya memahami fikih adalah memahami Islam itu sendiri. Fikih sendiri secara histories adalah suatu genre ilmu dalam Islam yang komposisinya mengatur, menata aktivitas manusia atau dalam kata lain operational value, sehingga segala aktivitas manusia sesuai dan singkron dengan hukum yang diturunkan Alloh melalui Rosulnya. Karena secara rasio, hidup tanpa norma atau tata nilai bisa dikatakan tak menyisakan apa-apa. Kehidupan manusia beserta realita sosialnya tidak terlepas dari norma dan tata nilai yang mereka hasilkan sendiri, walau dalam arti kebebasan sekalipun. Jadi hal inilah yang perlu dipahami, ketika hidup perlu adanya tata nilai yang mengatur laku kehidupan manusia, agar tidak terjadi clash yang dapat mengakibatkan manusia meruntuhkan tata nuilai dan norma yang telah mereka bangun dalam maknanya yang relative dan selalu dalam pre-kondisi.
Lain halnya dengan fikih yang juga merupakan jati diri Islam sendiri, ia menghadirkan suatu system tata nilai kehidupan yang sangat komprehensif, menggabungkan dan menyeimbangkan elemen-elemen makro dan mikro dengan kode etik yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, lingkungannya dan sesamanya. Sehingga tidak ada lagi clash ketika memang manusia (muslimin) tetap consist dengan Islam dan fikihnya yang mengandung berbagai aspek kehidupan.
Namun banyak kalangan dari kita yang lupa dengan hal ini dan terlalu apriori terhadap kajian yang mempunyai peran vital dalam Islam ini. Kalau kita mau mlihat sejarah perjalanan Islam semenjak awal kemunculannya 14 abad yang lalu, kita dapat melihat progresifitas fikih sepanjang jaman yang dilaluinya, serta peran fikih yang mempengaruhi tata laku muslimin.
Fikih sendiri dari sudut pandang epitomologi merupakan derivasi dari faqoha, yang mana kata ini multi makna. Syaikh Badruddin Muhammad bin Abi Bakar Sulaiman dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa fikih mempunyai tiga makna secara etimologi (lughowy):
1. makna yang shohih, bahwa fikih itu bermakna al-Fahmu (memahami) baik nanti kalam yang dipahami itu spesifik atau tidak, baik juga merupakan tujuan pembicaran dari si pembicara atau tidak. Salah satu ayat dalam Al-Qur'an memberikan indikasi arti tersebut, yaitu QS. An-Nisa': 78 yang berbunyi;

فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا (النساء : 78)
kata yafqohuna dalam konteks ayat ini mempunyai arti mamahami (lihat tafsir jalain).
2. Yang kedua fikih mempunyai makna memahami sesuatu yang kompleks dan eksplisit.
3. sedang makna yang ketiga yaitu berarti target si pembicara pada ucapannya. Maka memahamim kicauan burung tidak bisa disebut sebagai fikih.
Kemudian secara epistemology, banyak para pemikir Islam awal yang mendefinisikan suatu cabang ilmu yang mana berfungsi mengetahui hokum-hukum syar'I yang bersifat mengikat aktivitas manusia dan digali dari dalil-dalil tafsily (dalil yang secara eksplisit mempunyai realasi pada suatu masalah. Pen.) As-Suyuthi dalam karyanya Al-Asybah wa Al-Nadzoir mendefinisikan fikih sebagai ilmu mengetahui analogi-analogi masalah. Lain lagi dengan Imam Ghozali dalam Al-Mustasfa-nya. Beliau mengatakan, fikih adalah suatu nama dari usaha mengetahui dan memahami dari asal peletakannya suatu hal, kemudian dalam perkembangannya menurut ulama didefinisikan, nama dari satu genre ilmu yang membahas hokum-hukum syar'I yang konstan, mengikat terhadap aktivitas-aktivitas secara khusus. Imam Zarkasyi dalam mendefinisikan fikih kurang lebih sama dengan Imam As-Suyuthi, hanya saja Imam Zarkasyi menambahkan kata nash dan istinbath. Kemudian Al-Bajuri dalam komentar kitab Fathil Qorib menambahkan bahwa ilmu adalah ketetapan hati terhadap hokum yang singkron dengan realita yang ditarik dari dalil.
Dari definisi-definisi di atas bisa kita simpulkan bahwasanya fikih secara epitomology adalah, ilmu yang mempelajari hukum-hukum syar'I yang digali dari dalil-dalil tafsily; baik berupa nash (penyebutan hokum atau indikasi hokum secara shorih) atau istinbath (menggali hokum dari dalil), sehingga dapat hadir secara kontekstual menyelesaikan dan memberikan solusi terhadap kasus atau peristiwa yang pernah ada dan sedang dihadapi.
Hokum dalam literature fikih adalah sebuah produk dari istinbath yang berhubungan dengan pengaturan dan penataan aktivitas mukallaf (person yang terkena beban hokum). Kemudian dalil tafsily adalah dalil-dalil juz'iy yang berhubungan dengan satu masalah secara khusus dan intens, serta mengindikasikan pada hokum secara esensial. Seperti firman Allohِ QS. An-Nisa':22
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ (النساء :22)
Ayat ini menarangkan tentang keharoman menikahi ibu; baik ibu atau nenek ke atas, sekaligus mengindisikan hokum secara jelas keharoman tersebut secara esensial.
Istinbath sendiri adalah suatu term istilah yang digunakan untuk usaha penggalian hokum dari dalil-dalil yang ada pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam menggali sutu hokum dari dalil yang ada diperlukan perangkat pembantu untuk dijadikan acuan atau metode, yang mana kemudian kita kenal dengan Ushul Fikih. Kemudian dari dalil-dalil yang digali, adakalanya yang secara ceplos menunjukkan hokum yang berhubungan langsung terhadap satu masalah, dan adakalanya yang tidak disebutkan secara ceplos; baik dalam bentuk isyaroh, pemahaman dari redaksi dalilnya, dan qiyas. Wilayah istinbath pada poin dalil yang kedua ini seringkali diistilahkan dengan ijtihad.
DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Fiqh Al_islam wa Adillatuhu membagi fikih menjadi dua spesifikasi. Selanjutnya beliau mengatakan bahwasanya fikih yang fundamen dan konstan itu tidak bias berubah (dalam perkembangannya), seperti konsep saling ridho (Tarodhy) dalam berbagai transaksi, ganti rugi disebabkan adanya dhoror atau kecerobohan (Dhoman Al-Dhoror), konsep perlindungan hak, dan asas pertanggungjawaban. Adapun fikih yang dibangun pada qiyas, pemandangan terhadap maslahah (muro'atil maslahah) dan adat, mengalami perubahan (secara hukum) dan progresifitas memandang kebutuhan temporal, situasi kemanusiaan serta kondisi-kondisi yang berbeda dalam waktu dan tempat; (hal ini) selama hokum yang dihasilkan tetap dalam koridor Maqosid Al-Syar'iyyah (tujuan syari'at) dan dasar-dasarnya yang valid dan benar. Poin kedua ini, hanya pada wilayah mu'amalat, tidak pada wilayah 'aqidah dan ibadah. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa hal inilah yang dimaksud dengan kaidah: تتغير الأحكام بتغير الأزمان (Hukum berubah berdasarkan waktu) . Prof. DR. Yusuf Qordlowi juga berkata senada pada poin ini. Beliau mengatakan pada buku "Syari'at Al-Islam Sholihah Li Al-Tatbiq fi Kulli Zaman wa Makan" : ' Hal yang diketehaui dengan observasi yaitu, bahwasanya dari beberapa hokum ijtihady ada hokum yang sumber dan sandarannya adalah maslahah temporal yang berubah berdasarkan waktu dan perubahan kondisi. Maka sebuah keniscayaan ketika hokum berubah mengikuti (searah dengan keadaan dan waktu) . Karena Al-Ma'lul (hal yang di-alasi) berjalan sesuai 'illat-nya(alasannya) dalam wajudnya atau tidak. Secara global tanpa memandang fiqih fundamen yang konstan dan fikih yang dilandaskan pada qiyas dan maslahah, fikih dalam totalitasnya dikembalikan pada prespektif maslahah dan penolakan terhadap mafsadah dalam segala bentuknya. Bahkan Syaikh 'Izzuddin bin Abdissalam mengembalikan fikih dalam prespektif maslahah, karena penolakan terhadap mafsadah termasuk di dalamnya.
Membicarakan konsep maslahah dalam Islam, yang di mana fikih dibangun dengan semangat kemaslahatan bagi umat manusia, mempunyai prespektif tersendiri yang kompleks—sekompleks permasalahan dan peristiwa yang dihadapi oleh manusia. Namun yang menajdi patokan uatama legislasi fikih adalah bagaimana agar umat manusia dapat mengahadapi permasalahan dan segala kasus kehidupan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan oleh syari'at, sehingga tidak terjadi konfrontasi internal maupun eksternal dalam menjalani kehidupannya.
Al-Qur'an sendiri telah menjelaskan dan memberikan garisan, bahwa Al-Qur'an dan segala syari'at diturunkan adalah guna memberikan kemaslahatan bagi laku manusia. Salah satu firman Alloh yang menjelaskan hal ini terdapat pada surat Al-A'rof:157:
ياءمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحلّ لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث (الأعراف :157)
Ayat ini dengan jelas bahwa perintah Alloh SWT terhadap manusia untuk melakukan hal-hal yang baik, mencegah dari perbuatan mungkar, menghalalkan untuk mengkonsumsi perkara-perkara yang baik, dan mengharamkan hal-hal yang jelek—tidak lain guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia; di dunia ataupun di akhirat kelak.
Kemaslahatan yang menjadi landasan dalam melegislasikan hokum dalam fikih adalah maslahan haqiqiyyahh yang komprehensif dan universal dan tidak tertentu pada satu individu atau comunitas. Karena kemaslahatan ketika hanya terkonsentrasikan pada satu individu atau golongan, tidak menafikan adanya tumpang tindih dengan kepentingan individu atau golongan lain, yang nantinya menimbulkan benturan kepentingan.
Kemaslahatan yang direalisasikan harus memperhatikan 5 elemen fundamenatal dalam mengaplikasikan sebuah hasil hokum agar tidak menimbulkan efek yang merugikan. Kelima elemen tersebut adalah:
1. Menjaga esensi dan ke-eksisan agama(Hifdzu Al-din), yaitu menjaga aqidah abidah, dan dasar-dasar mu'amalah yang telah digariskan oleh syari'at. Dalam artian hukum yang dihasilkan nantinya tidak konfrontatif terhadap asas agama Islam, semisal tidak merusak aqidah, dan tidak merusak keberlangsungannya.
2. Menjaga jiwa (hifdzu Al-Nafasi). Elemen kedua ini juga harus diperhatikan agar jiwa tetap terjaga kemaslahatannya. Kita tahu termasuk implementasi dari elemen ini adalah disyari'atkannya sanksi qishos terhadap pembunuhan, tujuannya agar tidak terjadi pembunuhan tanpa hak.
3. Menjaga akal (Hifdzu Al-'Aqli). Akal adalah sebuah kenikmatan yang tiada bandingannya, yang mana Alloh menganugrahkan pada manusia, sehingga dengan akal manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa legisalasi yang dihasilkan dengan adanyan hokum tidak merugikan kesehatan akal. Hal ini bisa kita lihat diharomkannya mengkonsumsi arak dan narkotika yang dapat menghilangkan kesehatan akal.
4. Menjaga keturunan (Hifdzu Al-Nask). Sebagai contoh haromnya mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menimbulkan kemandulan atau obat-obatan yang dapat merusak organ reproduksi.
5. Menjaga harta (Hifdzu Al-Mal). Harta atau aset yang dimiliki manusia adalah merupakan medium untuk menjalani hidup. Tanpa harta program-program yang dicanangkan tidak bisa terealisasi dengan mulus. Hal inilah mengapa dalam Islam adanya sanksi bagi pencuri dan disyari'atkannya landasan dasar transaksi.
Di samping kelima elemen di atas, Syaikh DR. Muhammad Khudlori Bik mengatakan, bahwa legislasi hukum harus memperhatikan tiga asas. Asas yang pertama adalah tidak adanya kesempitan dan kesusahan ('adamul haroj), kemudian asas yang kedua yaitu meminimalisir penanggungan (taqlil At-Taklif) lalu yang ketiga adalah gradualisasi aplikasi hokum(tadrij fi tasyri'). Sedang dalam pandangan Syaikh Abu Zahroh memasukkan asas-asas tersebut dalam kategori maslahah.
Intinya dari paparan di atas, bahwa fikih dan hukum-hukumnya (Al-Ahkam Al-Islamiyyah) tidak lain, adalah merealisasikan kemaslahatan yang esensial (maslahah haqiqiyyah), bukan yang lainnya, sehingga menjadi mudah bagi manusia sebab-sebab adanya ketaatan dan selalu consist dengan ketaatan tersebut agar dijadikan acuan normatifnya dalam menjalankan hidup dan juga agar tidak terjadi ketimpangan di berbagai segi.
Atas dasar inilah para pakar fikih mentapkan kaidah-kaidah fikih yang diadaptasikan (dan diderivasikan) dari nash-nash syar'i, serta mengetahui dan mengkategorikan tujuan-tujuannya, kemudian merumuskan atas dasar hal tersebut kaidah Al-Dloror Yuzalu (Madlorot atau bahaya harus dihilangkan), Wa Annahu Yudfa'u Asyaddu Al-Dloruroin bi Aqollihima (menghilangakn dua kemadlorotan yang tumpang tindih dengan menghilangkan kemadlorotan yang paling sedikit efeknya), wa Anna Dar'a Al-Mafasid Muqodddamun 'ala Jalbu Al-Masholih (Menghilangakn kemadhorotan didahulukan dari menarik sebuah kemanfaatan) dan kaidah-kaidah lain yang bernafas sama; realisasi maslahah bagi manusia, seperti Al-Masyaqqoh Tajlibu Al-Taisir (Hal yang memberatkan menarik sebuah kemudahan).

0 comments:

Post a Comment

Apa Yang Kamu Lihat Adalah Apa Yang Kamu Renungkan,Dan Hanya Orang Ganteng dan Cantik Yang Mau Baca Blog ini

 
Design by Wordpress Theme | Modified Template by Darmanto