Filsafat
dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Apabila
yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan
dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi
kekurang-jelasan dan ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan
agama?Itulah pertanyaan yang tidak jarang dikemukakan oleh orang bertakwa
terhadap usaha para filosof.
Itu
memang ada benarnya.Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong. Filsafat
juga dapat membuat orang menjadi sombong, seakan-akan si filosof mengetahui
segala-galanya, seakan-akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh.
Akan
tetapi, di lain fihak, orang yang bicara atas nama agama juga dapat berdosa
karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan adalah wahyu Allah, namun ia
dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam
pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhadap wahyu itu.
Jadi,
dengan cara mengadakan \"perhitungan\", kita tidak akan maju jauh.
Akan tetapi, pertanyaan di atas tetap perlu kita jawab. Apakah fungsi filsafat
dalam berhadapan dengan agama yang menimba pengertiannya dari wahyu Allah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini,
kita perlu terlebih dahulu membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.
Tiga pandangan ekstrem
Untuk
membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia, sebaiknya kita
bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang hubungan itu.Masing-masing
pandangan hanya menekankan satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya.Tiga
pandangan itu adalah Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme.
Sikap
rasional tidak menuntut agar segala sikap harus dibuktikan secara lengkap atau
\"ilmiah.\" Sikap rasional justru menerima keterbatasan seseorang
dalam memastikan kebenaran suatu masalah. Dalam hampir semua pengandaian hidup,
kita tergantung kepada pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat.
“Saya
belum pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau saya
yakin bahwa kota itu ada, kalau pun saya pernah bermaksud pergi ke sana, saya
tetap tidak dapat mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul terletak di
pantai utara Irian Jaya dan bahwa kota itu memang Jayapura”.
Adalah
tidak bertentangan dengan sikap rasional, kalau kita dalam banyak hal
mengandalkan pendapat orang lain, adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri (yang
kadang-kadang lebih dapat dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk
ke kepala kita). Sikap rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan
segala-galanya sebelum kita mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah
jembatan yang akan kita lewati betul-betul masih cukup kuat). Tetapi,
apabila pendapat atau pengandaian kita memang dipersoalkan, kita tidak boleh
menjawabnya dengan mengacu kepada kebiasaan, kepercayaan, perasaan, pendapat
orang atau otoritas di sekeliling kita, melainkan mencari
pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk
menanggapi keberatan itu.
Jadi,
sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan.Orang yang bersikap tidak rasional
adalah orang yang menolak tantangan semata-mata karena keyakinannya.Sedangkan
orang yang bersikap rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan,
memeriksa dan menjawabnya.
Sikap
rasionalisme lebih dari itu.Seorang rasionalis tidak menerima sesuatu apapun
yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya pada cinta orang lain, pada
pengalaman masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak
percaya pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat
mengertinya. Padahal Allah dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian
ciptaan.Maka rasionalisme adalah lawan agama.
Akan
tetapi, seperti saya tunjukkan di atas, rasionalisme sebenarnya irasional.
Karena, ia bertolak dari sebuah pengandaian yang justru tidak mungkin terpenuhi
: Yaitu bahwa segala sesuatu dapat dimengerti seseorang. Seorang rasionalis
yang taat azas sebetulnya tidak dapat berbuat sesuatu apa pun karena segala
perbuatan mengandaikan hal-hal yang tidak dapat dicek (dapatkah ia mengecek
setiap kali mau makan, apakah dalam makanan itu tidak ada bisa?)
Yang
harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana mau saya perlihatkan di
bawah, dan bukan sikap rasionalisme.
Fideisme
adalah kebalikan dari rasionalisme. Fideisme (dari kata Latin \':fides\",
iman) adalah sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Allah, dan sekaligus
menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu.
Fideisme
dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup dengan mengikuti
pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual
atau paham-paham baru yang diramaikan.la dapat juga berwujud pandangan dunia
yang secara prinsipil menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai
terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah.
Sikap
terakhir itu menjadi fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam,
dunia, masyarakat dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu
yang dipercayai (dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu
pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa
yang ditulis dalam sumber wahyu itu.
Fideisme
pada hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah
juga ciptaan Tuhan yang diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi
tujuan yang baik.Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara
hasil nalar dan wahyu nahi mesti ada pertentangan.
Relativisme
dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran : Ada kebenaran agama
dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh bertentangan.Misalnya, sebagai orang
bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang evolusi jenis-jenis makhluk
hidup di dunia selama beratus-ratusjuta tahun. Sedangkan sebagai orang beriman
kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu dalam
waktu tujuh hari.
Jelaslah
bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga sikap ekstrem itu.
Relativisme melepaskan paham kebenaran sama sekali. Menurut prinsip
non-kontradiksi, sesuatu itu sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi
kita sudah berumur beratus-ratus juta tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang
bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun), maka tak mungkin bumi baru mulai
berada, melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang lalu. Dan sebaliknya.
Relativisme merupakan penyerahan claim atas pengetahuan yang benar. Maka,
menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada.Sikap
ini membuat mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.
Pandangan seimbang
Apabila
kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan relativisme, maka menjadi
jelas bahwa kesalahan dasar sikap-sikap itu terletak pada
ketidakseimbangannya.Yang kita cari adalah sikap seimbang. Sikap seimbang
adalah sikap yang dapat menerima serta menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga
sikap ekstrem itu, tetapi menghubungkannya satu sama lain.
Kita
mulai dengan fideisme.Fideisme mementingkan iman, percaya kepada wahyu ilahi.
Kalau orang percaya kepada Allah, ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar
fideisme itu benar. Kalau Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik
sebagai kebenaran, maupun dalam kekuasaan untuk bertindak.Maka sabda Allah
adalah mutlak benar dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia.Wajarlah orang
beriman mendasarkan hidupnya atas wahyu Allah.
Akan
tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang seharusnya membuat kaum fideis
sadar bahwa kemampuan manusia untuk bernalar perlu dipergunakan, bahkan ia
berdosa terhadap Allah Pencipta apabila ia tidak mau bernalar. Mengapa ?
Karena,
segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk akal budi dengan
kemampuannya untuk bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu berasal dari sumber yang
sama, dari Allah. Dan oleh karena itu, tidak mungkin dua-duanya secara
prinsipiil bertentangan.
Jadi,
adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya secara benar,
artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai pada hasil yang
bertentangan dengan wahyu. Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka
hanya ada satu kebenaran. Itu juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau
hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini : Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut
isi wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari kebenaran. Seseorang akan
berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada titik tertentu.
Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar itu.
Maka,
semua pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola : Kurangilah, atau hentikanlah
penalaran, jangan bernalar secara radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah
terhadap nalar, salah secara moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan
bohong, dan salah secara keagamaan karena menyangkal bahwa nalar berasal dari
Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa semakin alim seseorang, semakin ia tidak
berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.
Lalu,
mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia?Atas pengandalan
di atas, sebenarnya tidak boleh ada pertentangan, dan pertentangan itu
kelihatan bersifat sementara.Hal itu tidak mengherankan.Nalar manusia tidak
pernah sempurna, tidak pernah menangkap seluruh kebenaran.la suka melihat satu
sudut dan melupakan yang satunya. la terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana
pertentangan sementara itu?Pertentangan antara wahyu dan nalar dapat berasal
dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu.
Di satu
pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu pengetahuan moderen membuat
kita sangat sadar akan keterbatasan nalar. Misalnya saja, pernyataan atheisme
bahwa \"Allah tidak ada\" menurut metodologi sekarang tidak
rasional.Kalau Allah ada, maka Allah mengatasi nalar manusia, maka baik adanya
maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan melalui nalar belaka.
Tetapi
kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di pihak wahyu.Tentu
saja bukan pada wahyu itu sendiri.Wahyu sendiri tidak dapat salah karena wahyu
adalah Sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan
mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau
mempergunakan nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah
atau dalam filsafat. Jadi dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa
yang dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang
sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya. Jadi, kontradiksi itu terletak
bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang
wahyu dan hasil nalar manusia lain.
Dari
situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak
mungkin ada pertentangan, asal saja keduabelah pihak tahu batas mereka
masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah
terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang berusaha
mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar yang
lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari).
Ada
pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber yang sama, yaitu
Allah. Maka dua-duanya wajib dipakai dengan sebaik- baiknya, tetapi menurut
maksudnya masing-masing.
Kiranya
manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia
mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi,
nalar diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu.Yang ada
dalam jangkauan nalar adalah alam terbatas, alam tercipta.Maka nalar itu
dipanggil untuk mencari pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan mendalam
tentang seluruh alam ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu
pengetahuan dengan cara masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah
nalar adalah manusia sendiri, alam inderawi dan masyarakat.Sedangkan Allah
tidak dapat \"dikuasai\" oleh nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai
nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran
Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana
hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya
terhadap manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia
(Mengapa? Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan
Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga tidak terjangkau olehnya).
Pertimbangan
ini menunjukkan juga untuk tujuan apa Allah berkenan menurunkan wahyunya.
Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal yangjuga dapat diselidiki dan
diketahui melalui nalaryangjustru juga diberikan oleh Allah.Seakan-akan wahyu
mau membuat manusia malas bernalar saja.Melainkan, wahyu kiranya diberikan
kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah,
dapat diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana
disebutkan di atas. Karena sikap Allah menyangkut manusia yang masih berada
dalam dunia, maka dalam wahyu juga terdapat hal-hal yang menyangkut dunia
(terutama apa yang menjadi tanggungjawab serta kewajiban manusia dalam hidupnya
di dunia, jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai pemberitahuan tentang
dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi, wahyu tidak
bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang juga dapatkita selidiki
melalui ilmu pengetahuan, melainkan tentang hal yang memang tidak dapat
diselidiki melalui ilmu pengetahuan, tentang Allah sendiri.
Oleh
karena itu dapat juga dikatakan begini : Apabila nalar mau menjawab
pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental seperti misalnya:Siapakah
Allah, apa kehendak dan sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir
manusia, nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan.
Dan sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya
apakah matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan terjadinya
organisme-organisme hidup di bumi (yang ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada
dunia dan bahwa adahidup serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya
berdasarkan keputusan Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan
sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis yang paling
cocok agar manusia hidup dengan sejahtera; semua hal ini kita carijawabannya
bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu
pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu
dalam wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan
kesan pertentangan yang sebetulnya tak benar.
Maka,
adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang semakin ia merasa
tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru orang
yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk
mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis
dan mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut hemat saya, kita tidak
boleh memberikan kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis,
semakin agama berada dalam bahaya.
0 comments:
Post a Comment